BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu ushul fiqih menurut istilah syara’
adalah: pengetahuan tentang pengetahuan hukum-hukum syara’ yang praktis, yang
diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Berdasarkan penelitian yang
diperoleh dikalangan ulama’, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hokum
syar’iyyah mengenai perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu:
Al-Qur’an, As-Sunah, ijma’, dan Qiyas.
Oleh sebab inilah, maka para ulama’ telah
membahas terhadap masing-masing dari dalil ini dan terhadap argument yang
dianggap sebagai hujjah terhadap manusia dan sumber syari’at yang harus diikuti
segala ketetapannya, terhadap syarat-syarat beristidlal (menggunakan dalil),
macam-macamnya yang bersifat umum.
Jadi definisi ushul fiqih menurut istilah
syara’ adalah: pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari
dalil-dalilnya yang terinci.
B. Tujuan
Adapun objek pembahasan ilmu ushul fiqih
adalah: dalil syar’i yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan
hukum yang bersifat umum pula. Untuk menjelaskan terhadap hal ini akan di
contohkan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah: dalil syar’I yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nashnya yang ditasyri’iyah tidaklah dating dalam satu bentuk saja, akan tetapi diantaranya ada yang datang dalam bentu amar (perintah)ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan) dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak.
Al-Qur’an adalah: dalil syar’I yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nashnya yang ditasyri’iyah tidaklah dating dalam satu bentuk saja, akan tetapi diantaranya ada yang datang dalam bentu amar (perintah)ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan) dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak.
Bentuk perintah, larangan, bentuk umum dan
bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat mum dari aneka macam dalil
syar’I yang umum pula yaitu: Al-Qur’an. Kemudian apabila melalui pembahasan
itu, sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian
pewajiban, sighat larangan menunjukkan pengertian pengharaman, sighat umum
menunjukan pengertian tercakupnya semua satuan-satuanpada dalil umum sacara
pasti dan bentuk mutlak menunjukan terhadap tetapnya hukum secara mutlak.
Maka ada beberapa kaidah sebagaim berikut:
Perintah adalah untuk kewajiban, larangan adalah untuk pengharaman. Sesuatu
yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti. Sesuatu yang mutlak
menunjukan terhadap satuan secara merata tanpa batas. Kaidah-kaidah umum
tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul fiqih melalui
pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh ahli fiqih sebagai
kaidah yang diterimanya dan ia diterapkan terhadap bagian-bagian dalil umum,
supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia secara rinci. Jadi ushul fiqih menerapkan kaidah: “perintah menunjukkan
pengertian pemwajiban” terhadap firman Allah SWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu”
Ini menunjukan bahwa penghuni akad adalah wajib hukumnya.
Fiqih menetapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman”
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain” (al-hujrat).
Ini menunjukan bahwa penghuni akad adalah wajib hukumnya.
Fiqih menetapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman”
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain” (al-hujrat).
Kemudian fiqih memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum
terhadap kaum lainnya adalh haram hukumnya.
B.
Tujuan Ilmu Ushul Fiqih
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah
menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci
untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil.
BAB II
PEMBAHASAN
MAZHAB SAHABAT
A.
Pengertian Mazhab Sahabat
Secara
etimologi Mazhab kata-kata mazhab
merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh
karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata
yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan
atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب,
madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah
metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah. Dengan
demikian, Mazhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian
mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari
fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama,
baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi
berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat
adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama,
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak
menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping
belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. [1]
Misalnya kata ‘Aisyah : “Didalam
perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi 2 tahun, berdasarkan ukuran
yang bisa mengubah bayangan alat tenun”.[2] Ungkapan tersebut tidaklah sah untuk
dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar
dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya
merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan
sahabat lain bias dijadikan hujjah oleh umat islam.[3]
B. Perbedaan Mazhab Sahabat, Qaul Sahabat, Fatwa
Sahabat, dan Ijma Sahabat serta Contohnya
Madzhab adalah
jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menempuh atau menetapkan hukum
islam, yaitu berdasarkan qur’an sunnah dan ijtihad.jadi madzhab shahabat adalah
jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan hukum islam berdasarkan
Al-Qur’an sunnah dan Hadist. Contoh:
Sedangkan qoul
shahabat ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW, menyangkut
hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun
sunnah, contohnya: Sementara fatwa secara syariat bermakna penjelasan hukum
syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada yang
didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran Sunnah Nabawiyyah dan ijtihad
C. Pengertian Sahabat Rasulullah
SAW
Sahabat adalah orang-orang yang
bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan
langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri Jumhur fuqaha
telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil
nash.[4] Yang dimaksudkan dengan sahabat,
menurut ulama ushul fiqh adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW.
Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang
panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan
khusus dengan Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat.”
Ada pula ulama yang mempersingkat
identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi
Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.[5]
D. Pendapat Ulama
berkenaan dengan Kehujahan Mazhab Sahabat
Setelah Rasululah SAW wafat, maka
tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih
untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Tidaklah
diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat
islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat
mereka bersumber langsung dari Rasulullah
Para Ulama
ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan
berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya,
mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan
yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.
Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara
jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya,
dapat dijadikan hujjah.
Ulama
Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i dan pendapat terkuat
dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan bahwa pendapat itu menjadi hujjah dan
apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analog) maka
pendapat sahabat didahulukan.
Menurut Imam
Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah saw itu secara jelas
menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam Malik dan
Imam Ahmad Ibn Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang
dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw., bahkan
tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah.
Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam
hal-lal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam
menjawab persoalan hukum yang diharapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila
orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat
para sahabat tentu akan lebih boleh lagi, karena Rosulullah saw, mengatakan
bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian ulama
Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa
pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum,
karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib
diikuti mujtahid lain.
E. Pendapat Imam Syafi’I
dalam Kitab ar-Risalah
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa
Imam Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika Kami menjumpai para
ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka
meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari
para sahabat.”
Kemudian seorang teman diskusinya bertanya : “Bagaimanakah sikap anda
terhadap hal ini?”. Dia menjawab :”Jika kami tidak menemukan dasar-dasar
hukum dari al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat
salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’,
bahwa Imam Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata : “Jika
kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka kami
kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian
jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat
Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam
ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan
Sunah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz
7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa
dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari
al-Qur’an dan Sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat.
Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai
hubungan yang kuat dengan al-Qur’an dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang
dikerjakan oleh al-Khulafa’ra-Rasyidun, karena pendapat mereka telah masyhur,
dan pada umumnya sangat teliti.[6]
G. Pendapat Mazhab yang
Empat dalam Menggunakan Mazhab Sahabat
Secara
keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti fatwa-fatwa sahabat, dan
tidak menghindarinya. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami
tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist, maka kami mempergunakan
fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula
yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka
kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i di
dalam kitab Al-Umm ( kitab yang baru ) berkata:” jika kami tidak menjumpai
dasar-dasar hukum dalam Al-qur’an dan As-Sunnah, maka kami kembali kepada
pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus
bertaqlid, maka kami lebih senang kembali ( mengiuti ) pendapat Abu Bakar, Umar,
atau Islam. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang
menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah, niscaya
kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”. ( Al-Umm Juz 7 hal. 247 ).
Demikian juga
Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang
didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat. Imam Ahmad dan Ibn Hanbal juga demikian.
Meskipun di
atas telah dijelaskan, bahwa para imam keempat madzhab mengikuti pendapat/fatwa
para sahabat, akan tetapi dalam sebagian kitab ushul fiqh disebutkan, bahwa ada
ulama yang beranggapan bahwa Imam Syafi’I dalam qaul jaded (pendapat
yang baru) tidak mau mengambil pendapat sahabat.
Demikian juga
sebagian ulama madzha Hanafi beranggapan bahwa Imam Hanafi tidak mau
mempergunakan pendapat para sahabat, kecuali terhadap hukum yang tidak dapt
diketahui kecuali dengan dalil naqli. Dengan demikian, pendapat sahabat yang
diambil adalah yang berasal dari sunnah, bukan dari hasil ijtihad. Kalau
pendapat sahabat tersebut berasal dari hasil ijtihad, maka dia tidak mau
mengambilnya.[7]
H. Komentar
Imam asy-Syaukani berkenaan Mazhab Sahabat
Berkata Imam
asy-Syaukani : “Sebenarnya, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah,
karena Allah SWT. Hanya
mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu Nabi Muhammad SAW. Rasul kita
hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua umat Nabi Muhammad, baik dari
generasi sahabat maupun generasi sesudahnya, semua diperintahkan untuk
mengikuti kitab suci al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu, barang siapa
berpendapat, bahwa didalam Agama Allah terdapat hujjah selain al-Qur’an, Sunah,
dan sesuatu yang dikembalikan (diQiyaskan) kepada kedua hal tersebut, berarti
ia mengada-adakan sesuatu dalam agama allah yang tidak ditetapkan oleh
syariat’. Dan menetapkan sesuatu dalam syariat Islam yang tidak diperintahkan
oleh Allah SWT. Adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”
Imam asy-Syaukani menguraikan
pengertian ungkapan diatas dan mengulang-ulangnya, serta mengakhiri
perkataannya dengan ungkapan sebagai berikut :”Ketahuilah, sesungguhnya
Allah SWT. Tidak mengutus seorang utusan kepada mu dan kepada seluruh umat Nabi
Muhammad, kecuali hanya Nabi Muhammad SAW. Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk
mengikuti seseorang selain Nabi Muhammad SAW. Dan tidak mensyariat’kan sesuatu
melalui lisan umatnya, meskipun hanya satu huruf, serta tidak menjadikan Hujjah
terhadap pendapat seseorang, selain pendapat Rasulullah SAW”.[8]
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat
asy-Syaukani diatas adalah dalam rangka menolak pendapat para sahabat. Sesuatu
hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam mazhab mengikuti pendapat
para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi
Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada selain al-Qur’an dan Sunah. Karena
meskipun mereka mengambil pendapat para sahabat, mereka tetap berpegangan teguh
pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa pendapat
sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan
hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait
dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima
sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’
sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang
mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
2.
Sesuatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam
mazhab mengikuti pendapat para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan
risalah baru selain risalah Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada
selain al-Qur’an dan Sunah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para
sahabat, mereka tetap berpegangan teguh pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Moh., Ushul Fiqih,Jakarta:Pustaka
Firdaus,2008,cet.12
Al-Syaukani,Muhammad ibn Ali ibn
Muhammad,Irsyad al-fuhul,Bairut:Dar al-Fikr,t,t,
Haroen, Nasrun,Ushul Fiqh 1,Jakarta:Logos
Wacana Ilmu,2001,cet.3
Wahab Khalaf Abdul,Ilmu Ushulul
Fiqh,Bandung:Gema Risalah Press,1997,cet.2
Syafe’I,
Rachmat Ilmu Ushul fiqih untuk uin,stain,ptais, Bandung:CV.Pustaka
Setia,2007,cet.3
[3]. Rachmat
Syafe’I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,(Bandung:CV.Pustaka
Setia,2007),cet.3,hal.141.