Minggu, 08 Januari 2012

Kesultanan Cirebon

  KESULTANAN CIREBON



Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat, pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan Jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut Sulendraningrat,  yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku Bangsa, Agama, Bahasa, Adat Istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.[1]
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran Agama Islam di Jawa Barat.
  • Perkembangan awal
  •   Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban. Selanjutnya bisa kita baca dalam buku-buku yang berkaitan dengan sejarah Cirebon.
2.      Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama, yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
  • Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
  • Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama Subang Larang (Puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk Agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran Agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (Agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.[2]
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai Raja Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan Agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2.      Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar Agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.[3]

Perlu ditegaskan bahwa penulis mengasumsikan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sama. Dengan kata lain, salah satu nama lain dari Syeikh Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Jati. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari kesamaran dalam tulisan ini, sekalipun hal ini mengabaikan polemik berkepanjangan tentang identitas siapa sebenarnya Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati.[4]
Adalah hal yang menarik melihat sosok Syarif Hidayatullah dari sudut pandang spiritualitas (sufisme) atau Kewalian, karena untuk melihat tokoh historis-legendaris ini tidaklah cukup hanya dari satu perspektif saja, terlebih karena ia berperan ganda, yakni sebagai seorang sultan (kepala pemerintahan) dan sebagai seorang Ulama-da’i. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, bahkan ia dikonversi sebagai salah seorang Wali Sanga, sejumlah Wali yang populer sebagai agen Islamisasi di Tanah Jawa.
Dalam dunia tasawuf, pembicaraan tentang Wali merupakan hal yang sudah umum. Rujukan paling banyak dikemukakan adalah kisah Musa dan Khidir. Khidir dianggap sebagai orang yang mempunyai pengetahuan rahasia, sedangkan Musa hanya mengetahui hal-hal yang bersifat lahir, sehingga di dalam perjalanan mereka berdua banyak berbeda pendapat (QS 18:60-82). Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menelisik ketokohan Syarif Hidayatullah dalam perspektif sufisme, terutama dalam sudut pandang kewalian.
Bagaimanakah identitas yang dinisbahkan kepada tokoh ini hingga ia digolongkan sebagai Wali songo. Inilah yang menjadi fokus tulisan ini. Hal ini karena kewalian merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran tasawuf yang barangkali sampai saat ini sering dilupakan atau masih jarang disentuh oleh para sejarawan dan khususnya pemerhati tasawuf.
  • Terima Kewalian
Al-hujwiri mendefinisikan Wali dengan cara merujuk al-Qur’an surat Yunus ayat 62, “Sesungguhnya, Wali-Wali Allah (auliya) tidak ada ketakutan bagi mereka dan mereka tidak akan bersedih hati.” Sedangkan menurut al-Tirmidzi (t.t.:491) dan al-Syanqiti (1961:12), Wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa.
 Apabila kedua pendapat ini digabungkan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa Wali adalah orang yang secara aktif dan tegar (tidak mempunyai rasa takut dan sedih) untuk mengungkapkan dan menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasulnya dengan dasar iman dan taqwa yang sebebar-benarnya.[5]
Kemudian apabila beberapa literatur tasawuf dirujuk dapat ditemukan bahwa kata Wali merupakan Isim sifat Musyabbahat bermakna fa’il (subjek; pelaku pekerjaan), dengan tekanan yang intensif, karena ia selalu menjaga diri untuk taat kepada Allah swt dan tetap disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menjauhi larangannya. Jadi, Wali dalam arti aktifnya ialah “orang yang menginginkan”. Untuk kategori Wali ini, proses mendapatkannya dilakukan melalui ibadah secara terus menerus (Mujâhadah).
 Oleh karena itu, berdasarkan kategori ini, menurut Tirmidzi (1961:494), Wali adalah orang yang disiplin melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya (sesuatu yang diharamkan secara syar’i) secara terus menerus (man tawâlat tha’âtuhu min ghairi an yattakhola laha isyânun).” Kata Wali  juga merupakan bentuk isim sifat musyabbahah  yang bermakna mafûl . Jadi Wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada “orang-orang yang diinginkan Allah” (Murad). Pengertian terakhir ini menurut al-Hujwiri merujuk kepada firman Allah, QS al-A’râf (7):96, “Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang benar.”    
Oleh karena itu, Ali Harazim dalam Jawâhir al-Maânî  (1985:62) berpendapat bahwa Wali  adalah seseorang yang urusannya dikuasai Allah secara khusus serta Musyahadah  terhadap af’al Allah. Sebenarnya dua pemahamaman Wali tersebut apabila digabungkan mengarah pada satu pengertian bahwa Wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangannya (yang diharamkan) sampai pada Maqam (station) tertentu.
 Yang dimaksud Maqam  dalam tradisi sufisme merujuk pada suatu tingkatan ruhani (spiritual) yang didapat para sufi (Wali) melalui hasil usaha (ibadah). Apabila seorang Wali sudah sampai pada Maqam tertentu, sangat mungkin apabila Allah kemudian menariknya atau menginginkannya untuk mengetahui rahasia-rahasianya.
Dengan demikian, kewalian dibina melalui arah. Pertama, manusia itu sendiri secara aktif mempersiapkan diri melalui disiplin ibadah sampai pada Maqam tertentu. Inilah yang dimaksud dengan al-Muktasab, yakni usaha menempuhi jalan Allah, dan karena itulah Allah menariknya sampai pada tingkat Ma’rifah. Peristiwa terakhir ini dikategorikan sebagai ghair muktasab (anugerah; bukan merupakan usaha manusia). Dengan demikian, kewalian itu sendiri didapat melalui campur Allah, secara mutlak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewalian adalah wujud Rahman dan Rahim Allah swt.[6]
Perihal isyarat-isyarat mengenai makna hakikat kewalian telah banyak diungkap oleh para Sufi; misalnya (1) Abu Ali Jurjani; Nama aslinya adalah Hasan ibn Ali al-Jurjani, penulis kitab-kitab dalam bidang Ilm al-Auqât (ilmu tentang waktu) dan Suluk (jalan sufi). Menurut Ibrahim al-Sulama (1969:242), ia sejaman dengan Muhammad ibn Ali al-Tirmidzi (w. 247 H). (2) Abu Yazid Taifur ibn Isa ibn Sursan al-Bustami, yang lahir di Persia dan wafat pada tahun 261 H.
5.      Ciri-Ciri KeWalian Syarif Hidayatullah
Dalam literatur tasawuf ditemukan bahwa salah satu ciri kewalian seseorang adalah adanya keistimewaan-keistimewaan (karamah) yang muncul dari diri Wali. Menurut Jusuf al-Nabhani, Karamah adalah sesuatu yang melanggar adat (hukum adi) yang keluar dari tangan atau anggota hamba Allah yang benar-benar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Menurut hemat penulis, Karamah Wali erat kaitannya dengan Misi risalah al-Nubuwwah Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi akhir zaman yang syari’atnya berlaku hingga hari akhir. Melihat misi Nabi Muhammad SAW. Sebagai Khatam al-Anbiya, maka untuk mengaktualkan dakwahnya mesti ada kelompok tertentu yang secara khusus mengkonsentrasikan dirinya untuk memelihara misi tersebut.
 Dalam pandangan kaum sufi, orang-orang yang mengemban misi tersebut adalah mereka yang secara penuh mengabdi kepada urusan Allah dan tidak menuruti dorongan-dorongan hawa nafsu mereka dan orang-orang yang demikian adalah para Wali.[7]
Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa Karamah Wali pada dasarnya merupakan tanda kenabian (Burhan al-Nubuwwah) Nabi Muhammad yang tetap ada hingga sekarang. Para Wali-lah yang kemudian menjadi sarana manifestasi dari Burhan al-Nubuwwah, agar tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. Senantiasa dapat dilihat dengan jelas, dengan demikian, jika Nabi Muhammad SAW mengemukakan Mukjizat sebagai bukti kebenaran kenabiannya, Selanjutnya kebenaran pengakuannya dikuatkan oleh karamah Wali. Hal ini, karena syari’at Nabi Muhammad senantiasa berlaku sampai akhir zaman dan bukti keberannya (hujjah)-nya juga senantiasa berlaku dan Wali-Wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasulullah SAW.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Karamah yang ditampilkan Wali tidak mungkin dan tidak seharusya bertentangan dengan Mu’jizat  yang ditampilkan Nabi SAW. Sebab Karamah tidak terkukuhkan, kecuali orang yang menampilkannya bersaksi (Musyahadah) atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mu’jizat. Pada dasarnya, karamah dan kewalian merupakan anugerah Allah, bukan sesuatu yang diusahakan oleh manusia sehingga usaha manusia tidak dapat menjadi sebab bagi terwujudnya hal tersebut.
 Lebih jauh dikatakan oleh Ali Harazim(1985:107) bahwa kesucian pengetahuan tentang Tuhan (Ma’rifah), merupakan dasar dari semua Karamah  yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Karena sudah adanya cahaya Ma’rifah itulah, maka selanjutnya akan menyebabkan seseorang akan mempunyai keistimewaan (Karamah). Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW senantiasa dirujuk dalam literatur sufi untuk mendukung eksistensi karamah.
Artinya:  Hamba-hambaku tidak bertaqarrub kepadaku dengan sesuatu yang lebih Kusenangi dari ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hambaku selalu bertaqarrub kepadaku dengan amal ibadah sunnah sampai Aku cinta kepadanya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dia buat mendengar, Aku adalah penglihatannya yang dia buat untuk melihat, Aku adalah tangannya yang dia buat untuk memegang dengan keras, dan Aku adalah kakinya yang dia buat untuk berjalan. Apabila dia minta kepadaku, maka pastilah memberikannya dan apabila dia minta perlindungan kepadaku, pasti aku melindunginya (H.R. Bukhari).
Kemudian apabila dipandang dari dimensi perwujudannya, Karamah Wali  itu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Karamahhissiyyah yaitu Karamah yang berhubungan dengan indera, seperti berjalan di atas air dan mengobati orang sakit tanpa menggunakan diagnosis medis. Kedua, Karamah maknawi, yaitu Karamah  Wali yang terkait dengan bimbingan ruhani (spiritual) secara langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW., yang dalam literatur tasawuf disebut dengan Talqin Barzakhi, dan atau petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang secara langsung disampaikan kepada Wali (Nur al-ladzi yaqdzifuhu Allah fî qalb al-‘abd bi ghair hassah wa la wasithah).
 Kedua jenis Karamah  tersebut, sebagaimana telah diinformasikan oleh beberapa penulis sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda dan tanah Jawa pada umumnya, dan juga sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah babad, melekat pada ketokohan Syarif Hidayatullah. Di dalam Babad Tanah Sunda, misalnya, banyak dilukiskan tentang peristiwa-peristiwa historis yang menunjukkan tentang adanya Karamah  dalam diri Syeikh Syarif Hidayatullah.
Salah satu peristiwa yang menunjukkan adanya Karamah Hissiyyah yang dinisbahkan kepada Syarif Hidayatullah adalah sebagaimana dilukiskan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon. Disebutkan bahwa suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Ia dibekali oleh ibunya (Larasantang atau Syarifah Mudaim) uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, ia dihadang sekelompok perampok.
Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut, para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa ia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikannya kepada mereka. Mereka terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon, “Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya terlihat seperti terbuat dari emas.
Para penyamun semakin penasaran dan mereka terus mengikuti Syarif Hidayatullah untuk meminta rahasia dari kelebihan Syarif Hidayatullah. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi ia justru berjalan di atas air laut.
Dalam Serat Walisana dengan langgam Durma diceritakan pula sebuah peristiwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Syarif Hidayatullah dan masih menunjukkan Karamah kewaliannya. Peristiwa itu terjadi pada sebuah peperangan antara pasukan Wali sanga (Demak) dengan para tentara Majapahit. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa para Wali mengeluarkan Karamah masing-masing. Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya (tikus maketi-keti / andeleg marang  jroning pabarisan/ kumarep angerob) menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Masih banyak cerita lain berkenaan dengan Karamahhissiyyah yang dilekatkan pada tokoh satu ini. Mungkin saja, kalau dipahami dari sudut pandang logika rasional empiris, peristiwa-peristiwa tersebut tersebut dianggap sebagai sesuatu yang irrasional, mitos, atau legenda, atau paling tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang personal dan sulit dicari pembuktian empirisnya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif tasawuf, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hal yang mungkin dan masih dalam kerangka Sunnatullah.
Dalam hal ini, banyak berita gaib yang diinformasikan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. yang dapat dijadikan sandaran argumentasi atas terobosan cahaya Ilahi Wali Allah dan tidak berada dalam tataran Sunnatullah yang common sense. Misalnya, Karamah terjadi pada Maryam binti Imran yang mendapat hidangan dari surga.
Tatkala melahirkan Nabi Isa a.s., Maryam pun mendapatkan kurma yang didapatkannya dari pohon kurma yang telah mengering (Q.S. Maryam ayat 25 dst). Begitu pula peristiwa yang terjadi pada Asof bin Barkhoya, panglima tentara Nabi Sulaiman a.s. Yang mampu memindahkan istana Ratu Bilkis dari Saba (Yaman) ke negeri Syam (Syiria) dalam tempo sekejap mata (QS al-Naml ayat 38-40).
Adapun peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya Karamah Maknawi, pada diri Syeikh Syarif Hidayatullah adalah beberapa peristiwa yang menjelaskan pertemuannya dengan pada Nabi, di antaranya Nabi Ilyas a.s. dan terutama pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam perjumpaan (ruhani) tersebut, ia menyerap bimbingan dan mendapatkan pengukuhan tentang maqam yang diraihnya. Diceritakan dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengaku pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan sekaligus mendapat wejangan dari Nabi SAW.
berbunyi, “Jangan menghebat-hebatkan dan mengunggul-unggulkan sesuatu yang tiada amal kebajikan dan janganlah menduduki yang bukan maqamnya”. Diceritakan pula bahwa Nabi Muhammad SAW, pernah mengajarkan tentang Syahadat Lathifat al-sirr (atau dalam literatur sufi disebut Manhaj al-Dzikr) sekaligus mengukuhkan Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai insân al-Kâmil dan atau Wali quthb, yang secara lengkap berbunyi, “Aku memberi gelar insân al-kâmil, menjabat sebagai Wali quthb, sebagai wakil mutlak-ku”.
Terjadinya Karamah Maknawi sebagaimana dialami oleh Syeikh Syarif Hidayatullah, apabila merujuk literatur tasawuf yang membahas tentang kewalian, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang aneh melainkan sesuatu yang biasa (lazim). Bahkan banyak para sufi yang mengaku telah mengalami hal serupa, terutama bertemu dan mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad SAW.
 Di antara mereka adalah Syeikh Ibn al-‘Arabi, Syeikh Abu Madyan al-Maghribi, SyeikhAbd al-Rahman al-Qunawi, Syeikh Musa al-Zawawi, Syeikh Abu Hasan Syadzili, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi (686 H), Syeikh Abu Su’ud bin Abi al-‘Asya’ir, Syeikh Ibrahim al-Mabtuli (682 H), Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), Syeikh Ahmad Zawawi (812 H), Syeikh Sayyidina Ali al-Khawashi, Syeikh Sayyid Ahmad al-Rifa’I, Syeikh Sayyid Abu al-Abbas al-Thanji, Syeikh Abd al-Aziz al-Dhabagi, Syeikh Nur al-Din al-Suni, dan al-Thawwasi (1165 H).
Menurut K.H. Badri Masduki, seorang Muqaddam tarekat Tijaniyah Probolinggo, pertemuan para Wali dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan karunia Allah sebagai Tabsyir untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ia mengutip sebuah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 63, “Allah akan memberikan kegembiraan kepada mereka di dunia dan akhirat“.
 Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi memberikan penjelasan tentang ayat ini terutama kata Lahum al-busyra dengan Ru’ya al-shalihah. Selanjutnya dikatakan bahwa Allah memperlihatkan Ru’ya al-shalihah  tersebut dalam keadaan jaga. Di antara Ru’ya al-shalihah tersebut adalah pertemuan dengan Rasulullah SAW. K.H. Badri Masduki pun berpendapat bahwa pertemuan seorang Wali dengan Nabi Muhammad SAW. merupakan salah satu dari Karamah para Wali. Hal ini berarti bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan terjaga (Yaqzah) merupakan Karamah yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia pilihan yang telah mencapai maqam ma’rifah.
Untuk lebih jelas, di sini dikutipkan beberapa pengakuan beberapa Wali yang menyatakan bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Pertama, Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi, mengaku telah melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan jaga.
 Ia berkumpul dengan para Rasul lainnya lebih dari tujuh puluh kali. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pertemuan bersama Rasulullah berlangsung dalam keadaan jaga.
Kedua, Syeikh Abi Hasan al-Syadzali (w. 686 H), mengungkapkan pengalamannya, “Ma katabtu harf fi hidzb min ahzâb illa bi amr Rasulullah SAW(Aku tidaklah pernah menulis satu huruf pun dari hizb-hizbnya, kecuali atas perintah Rasulullah. Pengakuan ini menegaskan bahwa do’a-do’a hizb yang ditulisnya diakui bersumber langsung dari Rasulullah.
Ketiga, Syeikh Ibrahim al-Matbuli (w. 682 H) mengaku dan menyatakan,“Laisa lî syaikh illa Rasul Allah SAW.   (Aku tidak mempunyai guru kecuali Nabi Muhammad SAW.)”.
Keempat, Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (w 561 H) mengaku berdialog dengan Nabi Muhammad SAW, untuk meminta petunjuk dalam rangka menghadapi jamaah yang ingin mendapat bimbingannya.
Kelima, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi pernah berkata, “Kalau Nabi Muhammad SAW. hilang dari pandanganku selama sedetik, maka saya tidak merasa menjadi muslim”.
Keenam, Syeikh Ahmad al-Zawawi telah mengaku bercakap-cakap dan berkumpul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pengakuan pengalaman para Wali tersebut menunjukkan bahwa bimbingan Nabi Muhammad SAW. tidak pernah putus dengan wafatnya beliau. Dalam melihat pengalaman para Wali tersebut, pengarang al-Mizan menjelaskan bahwa dalam keadaan jaga ruh para Wali Allah dapat Ijtima (berkumpul) dengan ruh Rasulullah SAW. untuk mendapatkan bimbingan langsung dari beliau, dan hal itu mungkin terjadi dalam keadaan jaga.
Penjelasan ini menegaskan bahwa komunikasi spiritual antara Wali dengan Nabi Muhammad SAW tidaklah putus. Bahkan dalam Tanbih al-Muqatarin dikatakan bahwa apbila Wali mengalami kesulitan dalam melakukan Mujahadah, maka mereka menghadapkan ruhnya kepada nabi Muhammad SAW. Dan apabila telah hadir di hadapannya, mereka memohon bimbingan dan petunjuk dari Nabi mengenai Kaifiyat amalan yang dilakukannya.
Menurut keyakinan para Wali Allah, sebagaimana dikatakan Sayyid Ali al-Khawwas (w. 291), berkumpul dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan bukti kesempurnaan Ma’rifah seorang Wali atau dalam arti khusus Wali Allah. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa, la ya’lamu abd fî maqâm al-irfân hatta yashira yajtami’ bi Rasul Allah SAW. Yaqadhaz wa musyafahah” (Seorang hamba belum dapat dikatakan sempurna di dalam ma’rifah, sampai ia berkumpul dengan Rasulullah SAW, secara langsung dalam keadaan jaga)
 Pendapat ini menegaskan bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan salah satu kesempurnaan Ma’rifah. Ini berarti pengalaman tersebut hanya akan diperoleh seorang Wali yang telah melewati Maqamat secara bertahap melalui Tarbiyah spiritual  sampai Maqam Ma’rifah.
Dalam al-Jaisy al-Kafil dikatakan bahwa apabila seorang Wali telah bertemu dengan Nabi Muhammad asw. Secara Yaqzah, maka hatinya merasa tegar dalam arti sedikit sekali kemungkinan Maqam yang telahdilaluinya dicabut, lebih dari itu ia akan tambah yakin bahwa ada kemungkinan meraih maqam yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan hal yang didambakan oleh para Wali. Mereka meyakini bahwa apabila hal tersebut belum dialami, maka hati mereka tidak akan tenang.
 Karena menurut keyakinan mereka, hal ini erat kaitannya dengan Maqam yang telah diraihnya, dalam arti apabila hal tersebut belum dialami oleh seorang Wali, maka Maqam Wali bersangkutan masih ada kemungkinan dicabut kembali oleh Allah atau maqam yang telah diraihnya tidak akan meningkat. Hal lain, menurut hemat saya, pertemuan Wali dengan Rasulullah SAW.
 Dalam keadaan jaga adalah dalam rangka meningkatkan ketegaran lahir batin bagi tugas-tugas yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepadanya, yaitu perintah untuk melaksanakan dakwah di jalan Allah. Sebagai komparasi, apabila Nabi diberi wahyu dan mu’jizat untuk ketegaran dakwahnya, maka Wali diberi bimbingan oleh Nabi SAW. melalui pertemuan barzakiyah secara yaqzah.
Jelaslah bahwa pengakuan Syeikh Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. dan mendapat bimbingan darinya menunjukkan dirinya telah mencapai kesempurnaan ma’rifah. Di antara ciri-ciri yang telah mencapai kesempurnaan Ma’rifah  adalah ia melakukan dakwah melalui pendekatan hikah (bijaksana), yakni mengajak umat manusia ke jalan Allah sesuai dengan kemampuan akalnya (‘an yukhatib al-nas ‘ala qadr uqulihim).
Di antara bukti pendekatan hikmah dalam dakwah Syeikh Syarif Hidayatullah tercermin Dalam kisah berikut yang dituturkan Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. Pada suatu hari para Wali songo mengadakan pertemuan setelah perang Demak melawan Brawijaya (raja Majapahit akhir). Pada waktu itu, Pangeran Kudus datang ke tempat pertemuan tersebut dengan membawa tawanan perang, di antaranya adalah Dipati Teterung.
 Pangeran Kudus berkata bahwa semoga para Wali menerima semua tawanan tersebut. Namun untuk kasus Dipati Teterung, Pangeran Kudus memohon agar Dipati tersebut dihukum pancung, karena telah membunuh Sunan Ngudung. Namun Syeikh Syarif Hidayatullah berpendapat lain, dengan bijak ia menyarankan agar Dipati tersebut diampuni dan dianjurkan untuk memeluk Agama Islam. Menyoal gugurnya Sunan Ngudung, Syeikh Syarif Hidayatullah menyebutnya sebagai sebuah upaya penyempurnaan derajat kewaliannya sebagai syuhada fi sabilillallah.
Terdapat bukti lain yang menunjukkan tentang kebijaksanaan yang ditempuh oleh Syarif Hidayatullah dalam melakasanakan dakwahnya. Di antaranya, disebutkan oleh Wiji Saksono bahwa, Syeikh Syarif Hidayatullah telah memperbaiki doa mantra (pengobatan batin) firasat, dan jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan ataupun dalam pembukaan dan pembangunan wilayah baru. Dengan cara ini, menurut Sulendraningrat, banyak orang Cirebon dan sekitarnya memeluk Islam.
Diceritakan oleh Sulendraningrat bahwa suatu ketika, Syeikh Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara meng Islamkan raja-raja Pasundan. Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala. Setelah dilakukan uji coba, maka tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syeikh Syarif Hidayatullah membacakan do’a tolak bala.
 Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. Syeikh Syarif Hidayatullah berkata, “Dipati Awangga, telah aku bacakan do’a tolak bala, karena itu bala tentara ciptaan itu hilang. Bala tentara ciptaan itu sungguh tidak ada gunanya bagi tentara Auliya.
Apabila dilihat dari segi ciri-ciri kewalian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka jelas bahwa Syarif Hidayatullah merupakan salah seorang Wali yang telah mencapai maqam ma’rifah. Karenanya sangat tepat bila para Wali lainnya di tanah Jawa menganggapnya sebagai Wali quthb. Demikianlah, ciri-ciri kewalian yang ditampilkan Syarif Hdiayatullah, yang kesempurnaan ma’rifahnya diupayakan untuk meraih posisi Waratsat al-Anbiyâ (pewaris Nabi). Untuk itu ia memandang penting arti penting tampilnya sorang Wali di tengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.
  • Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan.Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
  • Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
  •  Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
  • Terpecahnya Kesultanan
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung Jawab pihak Banten.Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

  • Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana Kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
 Karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat dan keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi Sultan melainkan hanya Panembahan. Dia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabonan (Paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang Sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
  • Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun Kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya Besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon KaCirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar Sultan, cukup dengan gelar Pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
3.      Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa tahun 1942. Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu Walikota dan Bupati.[8]
  • Perkembangan Terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan Agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (fkn).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

  • Kesimpulan
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan antara tahun 1706-1723. 
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata Cirebon adalah Sarumban, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi Caruban. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi Carbon, berubah menjadi kata Cerbon, dan akhirnya menjadi kata Cirebon.
Menurut sumber ini, para Wali menyebut Carbon sebagai Pusat Jagat Negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya Negeri Gede. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi Garage dan berproses lagi menjadi Grage.

  • Saran
Dan selanjutnya bisa dilihat di dalam buku-buku Sejarah Kesultanan Cirebon, baik yang digunakan sebagai referensi atau referensi kompoten yang lain. Karena apa yang tertulis dalam Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. wallahu A’lam Bissawab.

 

[1] .Wildan, H.Dadan, , Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat. Edisi Selasa. 8 Juni 2004.

[2].  Permana  Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat. Edisi Kamis 17 Juni 2004.
[3] . Nina H. Lubis . Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Fikiran Rakyat Edisi. 2000.
[4] . Harazim, Ali. Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Ma’ani. Mesir: Maktabah Abd al-Ghani. 1985.

[5] . Sulama  Ibrahim, Tabaqât al-Shuffiyyah. Kairo: Maktabah al-Khanzi. 1969.

[6] . Musthafa al-Bab al-Halabyi, . Al-Jaisy al-Kafil. Fikiran Rakyat: 1961.
[7] . Yuyus Suherman. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.  Pustaka. Bandung. 1995.

[8] . Wildan, H.Dadan,  Cirebon Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 9 Juni 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar