Senin, 09 Januari 2012

SEJARAH DAULAH UMAYYAH I

SEJARAH  DAULAH  UMAYYAH  I DI  SYRIA

       
  • Asal usul Nama Daulah Umaiyah.
Nama “Daulah Umaiyah” itu berasal dari nama ”Umaiyah ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman jahiliyah. Umaiyah ini senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim Ibnu Abdi Manaf, untuk merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah kala itu.
Sesudah datangnya Agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umaiyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, disebabkan oleh persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umaiyah dengan tegas menentang Rasulullah dan usaha-usaha beliau untuk mengembangkan Agama Islam. Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah, baik mereka yang sudah masuk Islam ataupun yang belum.
Dan dalam peperangan badar, kekuatan Quraisy hampir semuanya berpusat pada Bani Abdi Syams, Abu Sufyanlah pemilik iring-iringan unta yang membawa barang-barang dagangan dari Negeri Syam ke Makkah.
Setelah ia mengetahui bahwa kaum muslimin di Madinah akan  mencegat iringan untanya dalam perjalanan ke Makkah, maka ia meminta orang-orang Quraisy untuk beramai-ramai menolongnya, sehingga bergeraklah penduduk kota Makkah dibawah pimpinan Abu Jahal dan ‘Utbah ibnu Rabi’ah ibnu ‘Abdi Syams, yaitu nenek Mu’awiyah dari fihak ibunya. Dengan demikian kafilah yang datang dari Negeri Syam itu, maupun pasukan penolong yang datang dari Makkah, semuanya berada di bawah pimpinan Bani Abdi Syams.
 Sehingga tampak jelas kekuasaan dan keangkuhan berada dalam tangan rombongan ini, yaitu Bani Abdi Syams yang sebagai suatu cabang dari cabang-cabang suku Quraisy itu. Inilah sebabnya maka kemudian timbul suatu peribahasa yang diucapkan terhadap orang yang tiada memegang peranan dalam suatu peristiwa, yang kira-kira artinya: “Engkau tak ikut dalam kafilah, dan tidak pula dalam pasukan”.[1]

Bani Umaiyah barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk kekota Makkah.

  •  Pembentukan Pemerintahan.
Setelah Khalifah Ali meninggal dunia bulan Ramadhan 40 H, penduduk Kufah mengangkat putranya, Hasan menjadi Khalifah mereka walaupun sebenarnya dia tidak berbakat menjadi khalifah. Pernah juga dia menantang Muawiyah dengan mengirim 12.000 orang pasukan untuk menyerang Muawiyah. Akan tetapi dia kalah dan kemudian dia mengajak Muawiyah berdamai.  Sementara itu, penduduk Syam pun telah mengangkat Muawiyah menjadi khalifah mereka semenjak peristiwa tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia didukung oleh tentara-tentara militan yang keperluan finansialnya ditanggung Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung Muawiyah untuk hal itu.
Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abd al-Syams bin Abd Manaf bin Qushai. Ibunya Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abd al-Syams. Muawiyah dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad Saw, dan masuk Islam bersama ayahnya (Abu Sofyan) saudaranya (Yazid) dan ibunya (Hindun) pada waktu penaklukan kota Makkah.
Sementara Hasan, nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muthalib. Dia dilahirkan di Madinah tahun ketiga hijriah, yaitu cucu Nabi dari putrinya Fatimah, namanya diberikan langsung oleh kakeknya Rasulullah dan Nabi sangat mencintai cucunya itu.
Hasan ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Afrika Utara dan Tabaristan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Ikut melindungi khalifah dari serangan pemberontak dan ikut dalam perang Jamal dan Shiffin bersama ayahnya.
            Hasan meninggal dunia di Madinah pada tahun 49 H. Karena diracun oleh salah seorang istirinya. Menurut orang Syi’ah, sudah berulang kali suruhan Muawiyah hendak meracun Hasan agar Muawiyah terbebas dari membayar kompensasi yang di pikulnya terus menerus setiap tahun.[2]  Dengan demikian, dunia Islam sepeninggal khalifah Ali terdapat dua khalifah, yaitu di Kufah dan Syam, suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila dikaitkan dengan perlunya menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Maka tawaran Hasan untuk berdamai merupakan suatu hal yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Itulah sebabnya waktu Hasan mengajak Muawiyah berdamai langsung diterima Muawiyah karena dia sangat berambisi menjadi khalifah.
            Walaupun Hasan mengajukan beberapa syarat, bagi Muawiyah hal itu tidak ada persoalan, asalkan jabatan khalifah diserahkan Hasan bin Ali kepadanya.  Adapun syarat-syaratnya Yaitu:

1.  Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan syarat, Muawiyah berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta sirah (prilaku) khalifah-khalifah yang saleh.
2.      Agar Muawiyah tidak meangangkat seseorang menjadi putra mahkota sepeningalnya dan urusan kekhalifahan  diserahkan kepada orang yang banyak untuk memilihnya.
3.      Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak, menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
4.      Agar pajak tanah negeri  Ahwaz di Persia diperuntukkan kepada Hasan dan dibrikan setiap tahun.
5.      Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 5 juta dirham dari Baitul Mal.
6.       Agar Muawiyah datang secara langsung ke Kufah untuk menerima penyerahan jabatan khalifah dari Hasan dan mendapat baiat dari penduduk Kufah. [3]
Pada waktu pendukung Hasan mengencam penyerahan kekuasaan kepada Muawiyah, hal itu dijawab Hasan bahwa ia tidak rela menyaksikan umat islam saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan dan dia berkata: “inti kekuasaan bangsa Arab saat ini ada di tanganku, jika aku ingin perang mereka siap berperang”.
Selain itu, Hasan sadar bahwa ayahnya Ali dahulu pun mengalami kesulitan menghadapi Muawiyah dan tidak dapat di atasi ayahnya, apalagi dia.  Oleh sebab itu dia
ingin mencari jalan selamat bagi dirinya dan keluarganya karena kekuatan yang dimilikinya tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan Muawiyah. Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang diajukan Hasan. Lalu ia datang ke kufah menerima bai’at jabatan khalifah dari Hasan dan penduduk Kufah. Tahun itu disebut “tahun persatuan”, karena ummat Islam telah bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.
            Lima belas tahun setelah penyerahan jabatan kekhalifahan itu. Untuk mempertahankan jabatan khalifah tetap di tangan Bani Umayyah, Muawiyah menciptakan sistim monarchi dalam pemerintahannya. Walaupun untuk itu dia telah melannggar janjinya dengan Hasan bin Ali. Daulah yang di buat Muawiyah ini disebut Daulah Umayyah, diambil dari nama Umayyah bin Abd Syams yaitu Datuknya Muawiyah.  Daulah ini berkuasa selama kuramg lebih sembilan puluh tahun (40-132 H/661-750 M) diperintahkan oleh 14 orang khalifah.
 
  • Pertumbuhan Pemerintahan (661-680 M).
Muawiyah adalah sebagai khalifah pertama yang melakukan pemindahan ibu kota Negara dari Kufah ke Damaskus karena dia telah 22 tahun menjadi gubernur di daerah ini. Dan ia juga orang pertama dalam pemerintahan Islam yang menggunakan Body-Guard untuk alasan keamanan, dan juga membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid yang disebut dengan maqsurah. Muawiyah memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan armada angkatan laut sehingga ketika itu dia telah memiliki 1.700 kapal.
Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid sebagai penggantinya jadi khalifah, tetapi dia mendapat tantangan dari para tokoh sahabat di Madinah yakni keturunan Bani Hasyim. Antara lain Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena hal itu bertentangan dengan janjinya kepada khalifah Hasan dulu.[4]
Yazid bin Muawiyah hanya memerintah selama tiga tahun (61-63 H), karena mendapat perlawanan dari penduduk Kufah, Bashrah, serta sahabat-sahabat di Madinah, terutama Abdullah bin Zubeir mereka memberontak, maka pemerintahannya dihadapkan kepada kerusuhan-kerusuhan.[5]

Tahun pertama, dia membunuh Husein bin Ali di Karbela. Saat itu penduduk Kufah mengundang Husein bin Ali untuk datang ke Kufah dan di janjikan akan mereka angkat menjadi khalifah. Husein memenuhi undangan itu walaupun kepergiannya dicegah beberapa sahabat, tetapi Husein tetap berangkat dengan dikawal sekitar 200 orang, termasuk keluarganya.
Mendengar kedatangan Husein maka Yazid memerintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk mencegah Husein. Ubaidillah bersama 4000 tentaranya mencegat Husein di Karbela (25 mil Barat Laut Kufah), dan mereka membunuh Husein dan rombongannya. Kepala Husein mereka penggal dan dikirim kepada khalifah Yazid di Syam, sementara badannya mereka kubur di Karbela.
Peristiwa ini terjadi 10 Oktober 680 atau 10 Muharram 61 H. Sampai kini hari pembunuhan itu diperingati kaum Syi’ah sebagai hari “Tragedi Karbela”. Padahal ayahnya Muawiyah telah membunuh Hasan sebelumnya dengan menyuruh salah satu isteri Hasan untuk meracunnya.
Tahun kedua, dia menjarah Madinah. Karena penduduk Madinah tidak mengakui kekhalifahan Yazid, bahkan mereka memecat Gubernur yang di angkat Yazid serta mengusir gubernur tersebut bersama dengan seluruh keturunan bani Umayyah dari Madinah. Bahkan menurut Ahmad Syalabi, mereka memenjarakan semua orang-orang bani Umayyah yang ada di Madinah.
Oleh sebab itu, khalifah Yazid mengirim utusan ke Madinah dan meminta agar mereka taat kepadanya tanpa peperangan, akan tetapi mereka menolak permintaan itu. Maka Yazid mengirim pasukan ke Madinah yang di pimpin oleh Muslim bin Uqbah al-Murri, orang yang dikenal diktator dan kejam. Yazid berpesan kepadanya: “Ajaklah mereka agar membai’atku dalam batas waktu tiga hari tanpa melakukan peperagan, dan jangan menyerang mereka, kecuali habis batas waktu tiga hari. Tetapi penduduk Madinah tetap tidak mau membai’at Yazid, maka Muslim pun menyerang mereka. Sayangnya selama tiga hari, muslim membolehkan tentaranya melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap penduduk Madinah, sebagai kota Rasulullah, suatu hal yang tidak sepatutnya terjadi.

Tahun ketiga, dia menggempur Ka’bah, Yazid menyuruh panglimanya itu (Muslim bin Uqbah) agar melanjutkan penyerangannya ke Makkah untuk menaklukkan kota suci itu sepeti yang dia lakukan dikota Madinah. Namun ditengah jalan dia meninggal dan digantikan oleh Husein bin Namir, mereka mengepung Makkah, menembaki Masjidil Haram, merusak Ka’bah dan memecahkan Hajrul Aswad, setelah kejadian itu Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui penyebabnya dan dia digantikan oleh anaknya Muawiyah II bin Yazid, tapi itu hanya berlangsung selama tiga bulan dan saki-sakitan, karena tidak mampu mengendalikan pemerintahan lalu dia mengundurkan diri. Tidak ada lagi pengganti dari keturunan mereka, dengan demikian bekhirlah masa pemerintahan Bani mayyah. Dari Abu Sofyan dan beralih ke keturunan al-Hamka Abu Ash’bin Umayyah yaitu Marwan bin Hakam.[6]

  • Puncak Pemerintahan (685-715)
Masa puncak pemerintahan Daulah Umayyah berlangsung selama 30 tahun (687-715 M), yaitu Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dan puteranya Wahid bin Abd Malik (705-715 M).
Abdul malik lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada pemerintahan Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai orang yang hafal al-Qur’an, dia juga adalah seorang ilmuan ahli fiqih, tafsir dan Hadis di Madinah, yang berguru kepada ulama-ulama Hijaz di Madinah.
Diantara peristiwa penting yang pernah dihadapi Abdul Malik adalah pemberontakan  “Amru bin Sa’id yang ingin menjadi khalifah sesudah khalifah marwan karena dia sudah sibuk berjuang untuk memperkokoh kekuasaan Marwan, sebab dijanjikan Marwan untuk di angkat menjadi khalifah sesudahnya, tetapi Marwan menipunya dia mengangkat anaknya Abdul Malik sebagai penggantinya.
Pada suatu malam Abdul Malik mengundang Amru agar berkunjung kerumahnya, Amru datang dengan beberapa pengawal, tetapi pengawal itu ditahan seorang demi seorang di belakang pintu sampai akhirnya Amru tiba di ruangan Abdul Malik hanya seorang diri saja dan tidak ada lagi pengawal di belakangnya, waktu itulah Abdul Malik membunuhnya dengan memenggal kepalanya. 
Adapun karakter Abdul Malik antara lain ialah: Kepercayaannya terhadap dirinya sendiri, dan keyakinannya bahwa diantara orang-orang yang semasa dengan dia tidak ada yang dapat menandinginya.[7]

Diantara hasil karya Abdul Malik yang patut dipuji adalah antara lain:
1.     Mengarahkan kantor-kantor pemerintahan, dulunya pemerintahan yang berada di Syam memakai bahasa Yunani sebagai bahasa resmi, Persia memakai bahasa Persia, Mesir memakai bahasa Qbthi. Maka Abdullah bin Malik menetapkan untuk memindahkan semuanya dan menjadikannya jadi satu bahasa yaitu bahasa Arab.
2.     Membuat mata uang dengan cara yang teratur dari dinar dan dirham menjadi riyal, sampai saat sekarang ini.
3.     Pelayanan pos yang lebih sempurna dari yang sebelumnya, gunanya untuk menghubungkan satu ibu kota dengan ibu kota lainnya diseluruh provinsi, dan antara perovinsi dengan Negara.
  •   Kesimpulan
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bani Hasyim dengan Bani Abdi Syams itu silsilah keturunannya masih ketemu pada nenek yang paling atas bagi dinasti-dinasti Islam yang memegang pemerintahan pada abad permulaan yaitu Abdul Manaf. Dengan demikian jelaslah bahwa Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk Islam, dan merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya.
Sebaliknya Bani Hasyim adalah merupakan orang yang pertama masuk Islam bahkan, menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah disaat menyerukan Agama Islam, baik mereka yang telah masuk Islam atau pun yang belum.
Dan selanjutnya bisa dilihat di dalam buku-buku Sejarah Peradaban Islam lainnya, baik yang digunakan sebagai referensi atau yang tidak digunakan. Karena apa yang tertulis dalam Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.


[1].prof. Dr. A. Syalabi. Sejarah dan kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982, Hal. 24.
[2] Dr. H. Syamruddin Nasution, M.A. Sejarah Peradaban Islam. Yayasan Pustaka Riau. 2010. Hal. 103.
[3] Ibid. Hal. 103-104.
[4] Ibid. Hal. 106-107.
[5] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta. Pustaka Al Husna: 1995. Hal. 57.
[6] Ibid. Hal. 113-114.
[7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1995. Hal.73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar