Minggu, 08 Januari 2012

Sejarah

 Samudera Pasai

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas, sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa di pertanggung jawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu sendiri. Menjelang abad ke -13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari peroses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke 7-8 M, dan seterusnya.[1]Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan yang terbuat dari granit asal Samudera Pasai.
            Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Malik al-Saleh, raja pertama, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal ini diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Seriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting dikawasan Sumatera dan sekitarnya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan[2] gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi Raja adalah (Merah Sile atau Merah Selu). Ia masuk islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut.
            Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Karena kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
            Dari Hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusanga, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar disepanjan jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapa mengayuhka dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai peusangan itu, yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera teretak agak lebih kepedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Ditempat yang terakhir inilah terletak makam raja-raja.
            Pendapat bahwa Islam sudah berkembang disana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan pendapat Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M. (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Malik al-Zahir, putra Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman.
            Menurut Ibnu Batutah, Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan disana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati,dan semangat keagamaan Rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi'i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat study agama Islam dan tempat berkumpulnya Ulama-ulama dari berbagai Negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan ini tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan perlayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan perlayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak 6%. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan satu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah Raja-raja Samudera Pasai pada abad ke- 14 M dan 15 M.[3]
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama Raja dan urut-urutannya, sebagai berikut:
1. Sultan Malik al-Saleh memerintah sampai tahun 1207 M.
2. Muhammad Malik al- Zahir (1297-1326 M).
3. Mamud Malik  al-Zahir (1326-1345 M).
4. Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M).
5. Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M).
6. Zain al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M).
7. Nahrasiyah (1402-…..?).
8. Abu Zaid Malik al-Zahir(?....-1455 M).
9. Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M).
10.  Zain al-Abidin (1477-1500 M).
11.  Abdul Malik al-Zahir (1501-1513 M).
12.  Zain al-Abidin (1513-1524 M) dan ini adalah Sultan yang terakhir.
                        Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh Raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada dibawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[4]
      
  • Pola Samudera Pasai
             Lahirnya kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari Negara yang segmenter ke Negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya, Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu Negara baru. Kerajaan ini bukan saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan.
            Dalam peroses perkembagannya untuk menjadi Negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut, Samudera Pasai memiliki " kebebasan budaya " untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tentang dirinya. Pola yang sama dapat juga disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.
  • Aceh Darussalam
            Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman Muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, diperkirakan , peroses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian dapat dipahami mengapa kerajaan Islam pertama di kepulauan Nusantara ini berdirinya di Aceh, yaitu seperti kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada pertengahan abad ke-13 M.
            Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke -15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat sekali berkembang, bahkan dapat mengambi alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari Samudera Pasai yang kalah bersaing, lajunya perkembangan masyarakat Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya.
            Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya, jadi kapan sebetulnya kerajaan ini berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah pada tahun (1465-1497 M). dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
            Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalm mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang  sebelumnya berdagang di Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus Kemalaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para Saudagar dari berbagai Negeri.
Menurut H.J. De Graff, Aceh menerima Islam dari pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian Agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan  dari dua perasaan kecil, yaitu Lamurai dan Aceh Dar al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
            Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan portugis. Kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengrim Panglima-Panglimanya, salah seorang di antaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan Sultan-sultan Deli dan Serdang.
            Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahhar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam.
            Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 ). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minang Kabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang dating, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan Iskandar kemudian bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besi, pengantinya Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetapi, kematiannya diikuti oleh masa-masa bencana. Tatkala beberapa sultan Perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke-18 M, kesultanan Aceh hanya merupakan bayangan belaka dari masa silamnya, tanpa kepemipinan dan kacau balau.[5]
                             

[1]. Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),  hlm. 3.
[2] Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, "Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh". (PT Almaarif,1989), hlm. 420.
[3]. Badri Yatim, SEjarah Peradaban Islam, )Jakarta: Rajawali Press, 2010). Hlm.208.
[4] . Ibid,  hlm. 208.
[5] . Batri Yatim, Sejarah Paradaban Islam. Op. cit, hlm, 210.
[6]. Mohamad Burhanudin. Kompas Cetak. com | Senin, 11 April  2011 | 12:42 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar