Senin, 16 Januari 2012

TOLERANSI MENURUT AL-QUR'AN

A.    Latar Belakang
Belakangan ini, Agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama Agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik.
Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama Agama (mengatasnamakan Agama) sehingga realitas kehidupan berAgama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan. Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
B.     Tujuan
            Sebagai bahan untuk memenuhi tugas semester yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing materi Ulumul Qur'an. Dan mudah-mudahan dapat menambah wawasan tentang materi Ulumul Qur'an khususnya kajian tentang bagaimana pentingnya pembahasan tentang Toleransi dan yang berkaitan dengannya menurut konsep al-Qur'an.
 
TOLERANSI MENURUT AL-QUR'AN

A.    Pengertian Toleransi
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[1] Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan ) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.[2]
            Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan Agama atau system keyakinan dan ibadah penganut Agama-Agama lain.
            Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.

B.     Konsep Toleransi Dalam Islam
            Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta Agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Artinya:. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi Agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb.
            Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut Agama tertentu dan esok hari kita menganut Agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua Agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya Agama-Agama lain selain Agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan Agama masing-masing.
            Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut Agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
 Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam Agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak Agama Islam itu lahir. Karena itu, Agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang Agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (Agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah Agama Islam.[3]

C.    Hubungan Toleransi dengan Ukhuwah Sesama Muslim
            Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ         
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
            Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya. 
Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujuraat:12)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. 
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan.
Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan Agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan (Sunnah).

D.    Hubungan Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat berAgama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut Agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain.
Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
            Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW. Langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai Rasul?” Nabi SAW. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
            Mengenai system keyakinan dan Agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun.
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
Artinya: Untukmu Agamamu, dan untukkulah, Agamaku."

Bahwa perinsip menganut Agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa Agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai Agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujaraat.
 Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung Agama kita dan Agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut Agama kita.
            Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk Agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut Agama lain setelah kalimat SAWa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba: 24-26).
* ö@è% `tB Nä3è%ãötƒ šÆÏiB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur ( È@è% ª!$# ( !$¯RÎ)ur ÷rr& öNà2$­ƒÎ) 4n?yès9 ´èd ÷rr& Îû 9@»n=|Ê &úüÎ7B ÇËÍÈ   @è% žw šcqè=t«ó¡è? !$£Jtã $oYøBtô_r& Ÿwur ã@t«ó¡çR $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇËÎÈ   ö@è% ßìyJøgs $uZoY÷t/ $oYš/u ¢OèO ßxtGøÿtƒ $uZoY÷t/ Èd,ysø9$$Î/ uqèdur ßy$­Fxÿø9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇËÏÈ  
Artinya: Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui".
            Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ  
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena Agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
            Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing Agama mendakwahkan Agamanya dengan cara-cara yang bijak.

E.     Konsep Etika Beragama Yang Diajarkan al-Qur’an
Tak ada paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama Islam.
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Asbabun Nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk Agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya Agama Islam), maka Ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk Agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.”
Mereka lalu mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah SAW. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam Agama semula. Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan Agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk Agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri.
Kata din pada umumnya diartikan Agama. Padahal, kata tersebut tidak hanya bermakna “Agama”, melainkan juga “balasan”, sebagaimana terlihat pada surat al-Fatihah ayat ketiga, Mâliki yaum ad-dîn (yang memiliki hari pembalasan). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam ayat keenam surat al-Kâfirûn adalah “kamu mendapat pembalasan buat kamu dan saya juga mendapat balasan buat saya”.
Orang-orang yang menolak menyebut kepercayaan kaum musyrik sebagai Agama, tidak menerjemahkan ayat ini dengan “Bagimu Agamamu dan bagiku Agamaku”. Akan tetapi, menjadi “bagimu balasan ganjaran bagimu dan bagiku balasan ganjaran bagiku”. Tegasnya, ayat tersebut tidak berbicara tentang Agama, menurut mereka.
Kata di atas bisa dibaca secara berbeda. Ia bisa dibaca dain yang berarti “hutang” dan bisa juga dibaca din yang berarti “pembalasan” atau “Agama”. Semua kata yang terdiri dari huruf dal, ya, dan nun menggambarkan hubungan dua pihak, di mana yang satu posisinya lebih tinggi daripada yang lainnya dan pasti berhubungan. Dalam arti hutang, ketiga huruf tersebut menggambarkan terjadinya hubungan antara yang memberi hutang (posisinya lebih tinggi) dengan yang diberi hutang (posisinya lebih rendah).
Kemudian, dalam arti pembalasan, itu juga terdapat hubungan antara yang membalas dengan yang memberi balasan. Sedangkan dalam arti Agama, menggambarkan adanya hubungan antara Tuhan yang dipercayai dengan manusia yang mempercayai. Jadi, syarat mutlak sesuatu yang dinamakan Agama mesti terdapat hubungan antara Sang Khalik dan makhluk. Oleh karena itu, bila seseorang tidak melakukan hubungan dengan Tuhan berarti dia tidak beragama.
Walaupun kita menafsirkan ayat ini dalam arti “pembalasan”, tetapi bukan berarti al-Quran tidak mengajak untuk menjalin hubungan baik dengan siapapun, karena ada ayat-ayat lain yang memerintahkan hal tersebut. Atau dengan kata lain, Islam menganjurkan adanya jalinan hubungan dan pengakuan akan eksistensi Agama-Agama.
Sebenarnya kata ad-din pada ayat tadi bukan dalam pengertian Agama, melainkan berarti “pembalasan”. Kalaupun diartikan Agama, tetapi tidak dalam pengertian “Agama Islam”, karena Allah tidak memerintahkan Nabi untuk memaksa orang agar masuk Islam. Tidak ada paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama Islam. Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama kalian benar dan Agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda.
Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri. Nabi SAW. Bersabda, “Dosa yang paling besar dari seorang manusia adalah memaki ayahnya”.
Sahabat Nabi bertanya, bagaimana ada orang yang memaki ayahnya sendiri? Nabi SAW menjawab, “Karena orang tersebut memaki ayah orang lain, maka orang lain tersebut akan memaki Ayahnya ”.

A.    Kesimpulan
Bahwa perinsip menganut Agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa Agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai Agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk Agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama kalian benar dan Agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri.




[1] . Tolhas Dkk,Tafsir Pase, hal. 110
[2] . Binsar A. Hutabarat,  Toleransi Beragama, www.beritaindonesia.co.id

[3] . Dr. M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Hlm. 16.


1 komentar: