Selasa, 10 Januari 2012

Waktu Menurut Konsep Al-Qur'an

 
Waktu Menurut Konsep Al-Qur'an
A.    Latar Belakang
Al-Qur'an yang secara harfiah berarti "Bacaan Sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur'an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada bacaan seperti al-Qur'an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandunganya yang tersurat, tersirat, bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya.
Semuanya dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi, kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tidak pernah kering itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecendrungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Qur'an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing, dan lebih tepatnya al-Qur'an selalu serasih, sesuai, di setiap masa dan tempat.
Tiada bacaan melebihi al-Qur'an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Bahkan semua yang ada diterangkan dalam al-Qur'an adalah merupakan sebuah kenyataan yang kebenarannya biasa dibuktikan.

PEMBAHASAN
  •          Waktu
Berbicara mengenai waktu penulis teringat akan sebuah ungkapan Malik bin Nabi dalam bukunya yang berjudul Syuruth an-Nahdhah ( Syarat-syarat Kebangkitan ) dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi SAW.
ما من يوم ينشق فجره الاوينادى : ياابن ادم أناخلق جد يد وعلى عملك شهيد فاغتنم منى فانى لاأعودالى يوم القيامة.
Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru," Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.
            Kemudian, masih dalam buku Malik bin Nabi disebutkan: waktu adalah ibarat sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dulu kala, melintasi kota, pulau, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering sekali tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya.
            Sedemikian besarnya peranan waktu dalam kehidupan, sehingga Allah SWT, berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti واليل : ( demi malam), والنهار والصبح ,, والفجر, dan lain-lain.

B.     Apa yang dimaksud dengan waktu
Dalam kamus Bahasa Indonesia paling tidak terdapat empat (4) arti kata waktu:
1.      Seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang.
2.      Saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu.
3.      Kesempatan, tempo, atau peluang.
4.      Ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Al-Qur'an menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:
a.      Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia.[1]
لكل امة أجل
Setiap manusia mempunyai batas waktu berakhirnya usia. (Qs.Yunus  Ayat:  49).
Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, al-Qur'an mengatakan:
قال ذلك بينى وبينك أينماالاجلين قضيت فلا عدوان على والله على مانقول وكيل ( القصص اية: 28)
Dia berkata, "Itulah perjanjian antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tida ada tuntutan tambahan atas diriku lagi. Dan Allah adalah saksi atas yang kita ucapkan.( QS. al-Qashash ayat 28).
b. Dahr, digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakannya sampai punahnya alam semesta ini.
هل أتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا (الانسان اية 1 )
Bukankan telah pernah datang kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini).(al-Insan ayat:1)
c. Waqt, digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peritiwa. Karena itu sering kali al-Qur'an menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari suatu masa.
ان الصلوة كانت على المؤمنين كتباموقوتا (النساء اية 103)
Sesunggunya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya. (an-Nisa ayat 103).
b. Ashr, kata ini sering diartikan "waktu menjelang terbenamnya matahari", tetapi juga dapat diartikan sebagai "masa" secara mutlak. Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata ashr sendiri bermakna" perasan", seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.
Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan al-Qur'an mengenai waktu ( dalam pengertian Bahasa Indonesia ), yaitu:
1.      Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. Sendiri.
2.       Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu.
3.      Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tercemin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami seperti: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya, dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukan membiarkannya berlalu begitu saja.
4.      Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.
  • Relativitas Waktu
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, sekarang, dan akan datang. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubung dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataannya bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh al-Qur'an ( seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat at-Taubah ayat 36 ), al-Qur'an juga memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Didalam surat al-Kahfi ayat: 19 disebutkan:
قال قائل منهم كم لبثتم قالوا لبثنايوماأوبعض يوم
Dan berkata salah seorang dari mereka, "Berapa tahunkah kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab," Kami tinggal (dibumi) sehari atau setengah hari…"
Ashabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama satu hari atau kurang, itu karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.
Al-Qur'an mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashabul-Kahfi) tertidur.
ولبثوافى كهفهم ثلث مائة سنين وازدادواتسعا
Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah Sembilan tahun. (Al-Kahfi ayat 25).
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan penambahan Sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Syamsiah dan Qamariah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3. 300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang relativitas waktu ini seperti: Dalam surat (an-Nahl ayat:1)  (al-Ma'arij ayat: 4) (al-Sajadah ayat: 5) ( al-Qamar ayat: 50) (Ya Sin ayat: 82) (al-Kahfi ayat: 25).

  • Tujuan Kehadiran Waktu
Ketika beberapa orang sahabat Nabi Saw, mengamati keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi, "Mengapa demikian?" al-Qur'an pun menjawab, dalam surat al-Baqarah ayat 189.
هي مواقيت للناس والحج
Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji. (QS al-Baqarah ayat 189)
Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci seperti perjalanan dari bulan sabit ke purnama, harus dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas ( lihat kembali arti waqat seperti dikemukakan di atas), salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah. Yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun Islam.
Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana hal bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
وهوالذى جعل اليل والنهارخلفة لمن ارادأن يذكرأوارادشكورا
Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk member waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS al-Furqan ayat 62)[2].
Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarka manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam defenisi agama, adalah menggunakan segala potensi yang di anugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya, dan ini menuntut upaya dan kerja keras.
Banyak ayat al-Qur'an yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan, maka ambillah pelajaran dari peristiwa itu. Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk masa depan, atau berfikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan. Salah satu ayat yang populer mengenai tema ini adalah:[3]
ياايهاالذين امنوا اتقواالله ولتنظرنفس ما قد مت لغد
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS al- Hasyr ayat 18)
Hari esok yang dimaksud ayat ini adalah tidak hanya terbatas pengertiannya untuk hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam al-Qur'an sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisinya dapat mencakup hari esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.

  • Akibat Menyia-nyiakan Waktu
Jika anda bertanya,"Apakah akibat yang akan terjadi jika menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat 1-2 surat al-Ashr. Allah Swt. Memulai ayat ini dengan bersumpah Wal 'ashr (demi masa), untuk membantah anggapan sebahagian orang yang menyalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad Abduh menjelaskan sebab turunnya ayat ini
Allah bersumpah dengan ashr, yang arti harfiahnya adalah "Memeras sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa,"Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apapun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia berima dan beramal saleh" (dan seterusnya sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya.
Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu ashr kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankan ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? Sepertinya itu yang menjadi sebab sehingga Allah mengaitkan kerugian manusia dengan kata ashr untuk menunjuk "waktu secara umum" sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian.
Dalam surat al-Ashr dijelaskan:
أن الانسان لفى خسر
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian).
Kata khusr mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, dan sebagiannya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas berbentuk nakirah, karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin. Bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti" Keragaman dan kebesaran", Sehingga kata khusr harus dipahami sebagai kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di dalam bahasa Indonesia. Jika misalnya Anda berkata,"baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang anda maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada di dalam saku, yang terpikir dalam benak ketika itu adalah bahwa baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang yang ada di dalam saku sehingga tida sedikit pun yang berada di luar.
Begitu juga yang dimaksudkan dalam ayat di atas, "Manusia berada di dalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amatlah besar dan beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat yang pertama," Demi masa", dan mencari kaitannya dengan ayat yang kedua, "Sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian".
Masa adalah modal utama manusia, apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu saja. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Ali bin Abi Thalib r.a. Pernah berkata:
مافاتك اليوم من الرزق يرجى غداعودته ومافاتك من العمرلايرجىرجعته
Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.
Jika demikian, waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Disinilah terlihat kaitan antara ayat yang pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi Saw. Yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, sebagaimana sabda Nabi Saw.
نعمتان مغبون فيهماكثيرمن الناس, الصحة والفراغ     ( رواه البخارى عن ابن عباس  )
Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan. (HR. Bukhari dari ibnu Abbas).

  •  Cara mengisi waktu
Tidak salah lagi bahwa waktu harus diisi dengan aktivitas positif. Dalam surat al-Ashr disebutkan empat (4) hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan besar dan beraneka ragam yaitu:
a.      Beriman.
b.      Beramal saleh.
c.       Saling berwasiat dengan kebenaran.
d.      Saling berwasiat dengan kesabaran.
Sebenarnya keempat hal ini telah dicakup oleh kata "amal", namun dirinci sedemikian rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau oleh kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (b).
Iman dari segi bahasa bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian pakar yang mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal yang di dengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup kata mereka karena yang penting adalah pembenaran hati.
Peringkat iman da kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan lainya, bahkan dapat berbeda antara satu saat dengan saat lainnya pada diri seseorang. Al-iman yazidu wayanqushu (Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusnya. Nah, upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan iman merupakan hal yang amat ditekakan. Karena dengan iman inilah yang amat berpengaruh pada hal diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah Swt. Dalam surat al-Furqan ayat 23 disebutkan.
وقدمناألى ماعملوامن عمل فجعلنه هباءمنثورا
Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu sia-sia bagai debu yang beterbangan.( Al-Furqan ayat 23)[4]
Ini disebabkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman, demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan sebuah "undang-undang Ilahi" Jika demikian, sifat pertama yang dapat menyelamatkan seseorang dari kerugian adalah iman atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja haruslah diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat dirinya. Padahal ada empat hal yang disebutkan surat al-Ashr yang menghindarkan manusia dari kerugian total.
Surat al-Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasehat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuan.
Seperti yang sudah dijelaska dalam hadis Nabi Saw:
على العاقل مالم يكن مغلوباعلى عقله أن يكون له ساعات, ساعة يناجى فيهاربه, وساعة يحاسب فيهانفسه, وساعة يتفكرفيهافى صنع الله, وساعة يخلوفيهالحاجته من المطعم والمشرب.                                                                                                                                              
            Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajian mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan tuhannya, ada juga untuk melakukan intropeksi, kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri dan keluarganya guna untuk memenuhikebutuhan makan dan minum.(HR. Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Dzar al-Ghifari).
            Demikianlah surat al-'Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat Imam Syafi'i mengomentari surat ini:
لوفكرالناس كلهم فى هذه السورة لكفتهم
Kalau manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka.
  •   Kesimpulan
1.      Waktu adalah ibarat sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dulu kala, melintasi kota, pulau, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering sekali tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya.
2.      Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
3.      Empat hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan besar dan beraneka ragam yaitu:
a.      Beriman. b. Beramal saleh. c. Saling berwasiat dengan kebenaran.
d. Saling berwasiat dengan kesabaran.
4. Surat al-Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya   mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman.




[1][1]. M. Quraish Sihab, Wawasan al-Qur'an. Hlm. 546.
[2] . M. Quraish Sihab, Wawasan al-Qur'an. Hlm. 552.
[3] . ibid. Hlm. 552-523.
[4]. Al-Qur'an al-Karim. Al- Furqan. Ayat. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar