Rabu, 25 Desember 2013

MAZHAB SAHABAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ushul fiqih menurut istilah syara’ adalah: pengetahuan tentang pengetahuan hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Berdasarkan penelitian yang diperoleh dikalangan ulama’, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hokum syar’iyyah mengenai perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunah, ijma’, dan Qiyas.
Oleh sebab inilah, maka para ulama’ telah membahas terhadap masing-masing dari dalil ini dan terhadap argument yang dianggap sebagai hujjah terhadap manusia dan sumber syari’at yang harus diikuti segala ketetapannya, terhadap syarat-syarat beristidlal (menggunakan dalil), macam-macamnya yang bersifat umum.
Jadi definisi ushul fiqih menurut istilah syara’ adalah: pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.

B. Tujuan
Adapun objek pembahasan ilmu ushul fiqih adalah: dalil syar’i yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Untuk menjelaskan terhadap hal ini akan di contohkan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah: dalil syar’I yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nashnya yang ditasyri’iyah tidaklah dating dalam satu bentuk saja, akan tetapi diantaranya ada yang datang dalam bentu amar (perintah)ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan) dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak.
Bentuk perintah, larangan, bentuk umum dan bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat mum dari aneka macam dalil syar’I yang umum pula yaitu: Al-Qur’an. Kemudian apabila melalui pembahasan itu, sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian pewajiban, sighat larangan menunjukkan pengertian pengharaman, sighat umum menunjukan pengertian tercakupnya semua satuan-satuanpada dalil umum sacara pasti dan bentuk mutlak menunjukan terhadap tetapnya hukum secara mutlak.
Maka ada beberapa kaidah sebagaim berikut: Perintah adalah untuk kewajiban, larangan adalah untuk pengharaman. Sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti. Sesuatu yang mutlak menunjukan terhadap satuan secara merata tanpa batas. Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul fiqih melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh ahli fiqih sebagai kaidah yang diterimanya dan ia diterapkan terhadap bagian-bagian dalil umum, supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara rinci. Jadi ushul fiqih menerapkan kaidah: “perintah menunjukkan pengertian pemwajiban” terhadap firman Allah SWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
Ini menunjukan bahwa penghuni akad adalah wajib hukumnya.
Fiqih menetapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman”
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain”
(al-hujrat).
Kemudian fiqih memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap kaum lainnya adalh haram hukumnya.

B.     Tujuan Ilmu Ushul Fiqih
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil.










BAB II
PEMBAHASAN

MAZHAB SAHABAT
A.    Pengertian Mazhab Sahabat
Secara etimologi Mazhab kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian, Mazhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. [1]
Misalnya kata ‘Aisyah : “Didalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi 2 tahun, berdasarkan ukuran yang bisa mengubah bayangan alat tenun”.[2] Ungkapan tersebut tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bias dijadikan hujjah oleh umat islam.[3] 
BPerbedaan Mazhab Sahabat, Qaul Sahabat, Fatwa Sahabat, dan Ijma Sahabat serta Contohnya
Madzhab adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menempuh atau menetapkan hukum islam, yaitu berdasarkan qur’an sunnah dan ijtihad.jadi madzhab shahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan hukum islam berdasarkan Al-Qur’an sunnah dan Hadist.  Contoh:
Sedangkan qoul shahabat ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun sunnah, contohnya: Sementara fatwa secara syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran Sunnah Nabawiyyah dan ijtihad
C.   Pengertian Sahabat Rasulullah SAW
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.[4] Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama ushul fiqh adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat.”
Ada pula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.[5]
D.   Pendapat Ulama berkenaan dengan Kehujahan Mazhab Sahabat
Setelah Rasululah SAW wafat, maka tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah 
Para Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan bahwa pendapat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analog) maka pendapat sahabat didahulukan.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah saw itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-lal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang diharapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu akan lebih boleh lagi, karena Rosulullah saw, mengatakan bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain.

E.  Pendapat Imam Syafi’I dalam Kitab ar-Risalah
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika Kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya : “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab :”Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’, bahwa Imam Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata : “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz 7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Qur’an dan Sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Qur’an dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa’ra-Rasyidun, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.[6]
G.  Pendapat Mazhab yang Empat dalam Menggunakan Mazhab Sahabat
Secara keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti fatwa-fatwa sahabat, dan tidak menghindarinya. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm ( kitab yang baru ) berkata:” jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam Al-qur’an dan As-Sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali ( mengiuti ) pendapat Abu Bakar, Umar, atau Islam. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”. ( Al-Umm Juz 7 hal. 247 ). 
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat. Imam Ahmad dan Ibn Hanbal juga demikian.
Meskipun di atas telah dijelaskan, bahwa para imam keempat madzhab mengikuti pendapat/fatwa para sahabat, akan tetapi dalam sebagian kitab ushul fiqh disebutkan, bahwa ada ulama yang beranggapan bahwa Imam Syafi’I dalam qaul jaded (pendapat yang baru) tidak mau mengambil pendapat sahabat.
Demikian juga sebagian ulama madzha Hanafi beranggapan bahwa Imam Hanafi tidak mau mempergunakan pendapat para sahabat, kecuali terhadap hukum yang tidak dapt diketahui kecuali dengan dalil naqli. Dengan demikian, pendapat sahabat yang diambil adalah yang berasal dari sunnah, bukan dari hasil ijtihad. Kalau pendapat sahabat tersebut berasal dari hasil ijtihad, maka dia tidak mau mengambilnya.[7]
H.  Komentar Imam asy-Syaukani berkenaan Mazhab Sahabat
Berkata Imam asy-Syaukani : “Sebenarnya, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena Allah SWT. Hanya mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu Nabi Muhammad SAW. Rasul kita hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua umat Nabi Muhammad, baik dari generasi sahabat maupun generasi sesudahnya, semua diperintahkan untuk mengikuti kitab suci al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu, barang siapa berpendapat, bahwa didalam Agama Allah terdapat hujjah selain al-Qur’an, Sunah, dan sesuatu yang dikembalikan (diQiyaskan) kepada kedua hal tersebut, berarti ia mengada-adakan sesuatu dalam agama allah yang tidak ditetapkan oleh syariat’. Dan menetapkan sesuatu dalam syariat Islam yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”
Imam asy-Syaukani menguraikan pengertian ungkapan diatas dan mengulang-ulangnya, serta mengakhiri perkataannya dengan ungkapan sebagai berikut :”Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT. Tidak mengutus seorang utusan kepada mu dan kepada seluruh umat Nabi Muhammad, kecuali hanya Nabi Muhammad SAW. Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengikuti seseorang selain Nabi Muhammad SAW. Dan tidak mensyariat’kan sesuatu melalui lisan umatnya, meskipun hanya satu huruf, serta tidak menjadikan Hujjah terhadap pendapat seseorang, selain pendapat Rasulullah SAW”.[8]
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat asy-Syaukani diatas adalah dalam rangka menolak pendapat para sahabat. Sesuatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam mazhab mengikuti pendapat para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada selain al-Qur’an dan Sunah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para sahabat, mereka tetap berpegangan teguh pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
2.      Sesuatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam mazhab mengikuti pendapat para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada selain al-Qur’an dan Sunah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para sahabat, mereka tetap berpegangan teguh pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.

















DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Moh., Ushul Fiqih,Jakarta:Pustaka Firdaus,2008,cet.12
Al-Syaukani,Muhammad ibn Ali ibn Muhammad,Irsyad al-fuhul,Bairut:Dar al-Fikr,t,t,
Haroen, Nasrun,Ushul Fiqh 1,Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001,cet.3
Wahab Khalaf Abdul,Ilmu Ushulul Fiqh,Bandung:Gema Risalah Press,1997,cet.2
Syafe’I, Rachmat Ilmu Ushul fiqih untuk uin,stain,ptais, Bandung:CV.Pustaka Setia,2007,cet.3





[1]. Nasrun Haroen,USHUL FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.155.
[2].  Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushulul Fiqh,(Bandung:Gema Risalah Press,1997),cet.2,hal.157.
[3]. Rachmat Syafe’I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2007),cet.3,hal.141.
[4]. Moh. Abu Zahrah, USHUL FIQIH,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.328.
[5].  Nasrun Haroen,Ushul Fiqh 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.155-156.
[6]. Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.332-333.
[7].  Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.332-334.
[8].  Al-Syaukani,Muhammad ibn Ali ibn Muhammad,Irsyad al-fuhul,(Bairut:Dar al-Fikr,t,t,),hal.214
BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang 
Belakangan ini, Agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama Agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama Agama (mengatasnamakan Agama) sehingga realitas kehidupan berAgama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan. Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. B. Tujuan Sebagai bahan untuk memenuhi tugas semester yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing materi Ulumul Qur'an. Dan mudah-mudahan dapat menambah wawasan tentang materi Ulumul Qur'an khususnya kajian tentang bagaimana pentingnya pembahasan tentang Toleransi dan yang berkaitan dengannya menurut konsep al-Qur'an. BAB II PEMBAHASAN TOLERANSI MENURUT AL-QUR'AN A. Pengertian Toleransi Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan ) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan Agama atau system keyakinan dan ibadah penganut Agama-Agama lain. Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan. B. Konsep Toleransi Dalam Islam Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta Agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13:  ••           •      •     Artinya:. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi Agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb. Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut Agama tertentu dan esok hari kita menganut Agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua Agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya Agama-Agama lain selain Agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan Agama masing-masing. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut Agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam Agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak Agama Islam itu lahir. Karena itu, Agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang Agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (Agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah Agama Islam. C. Hubungan Toleransi dengan Ukhuwah Sesama Muslim Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:        •     Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya. Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujuraat:12)                             •   •     Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan Agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan (Sunnah). D. Hubungan Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat berAgama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut Agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW. Langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai Rasul?” Nabi SAW. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita. Mengenai system keyakinan dan Agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun.      Artinya: Untukmu Agamamu, dan untukkulah, Agamaku." Bahwa perinsip menganut Agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa Agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai Agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujaraat. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung Agama kita dan Agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut Agama kita. Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk Agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut Agama lain setelah kalimat SAWa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba: 24-26).                                            Artinya: Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):                   •     Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena Agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing Agama mendakwahkan Agamanya dengan cara-cara yang bijak. E. Konsep Etika Beragama Yang Diajarkan al-Qur’an Tak ada paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama Islam. Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 :       ••                      Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Asbabun Nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk Agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya Agama Islam), maka Ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk Agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah SAW. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam Agama semula. Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan Agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk Agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri. Kata din pada umumnya diartikan Agama. Padahal, kata tersebut tidak hanya bermakna “Agama”, melainkan juga “balasan”, sebagaimana terlihat pada surat al-Fatihah ayat ketiga, Mâliki yaum ad-dîn (yang memiliki hari pembalasan). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam ayat keenam surat al-Kâfirûn adalah “kamu mendapat pembalasan buat kamu dan saya juga mendapat balasan buat saya”. Orang-orang yang menolak menyebut kepercayaan kaum musyrik sebagai Agama, tidak menerjemahkan ayat ini dengan “Bagimu Agamamu dan bagiku Agamaku”. Akan tetapi, menjadi “bagimu balasan ganjaran bagimu dan bagiku balasan ganjaran bagiku”. Tegasnya, ayat tersebut tidak berbicara tentang Agama, menurut mereka. Kata di atas bisa dibaca secara berbeda. Ia bisa dibaca dain yang berarti “hutang” dan bisa juga dibaca din yang berarti “pembalasan” atau “Agama”. Semua kata yang terdiri dari huruf dal, ya, dan nun menggambarkan hubungan dua pihak, di mana yang satu posisinya lebih tinggi daripada yang lainnya dan pasti berhubungan. Dalam arti hutang, ketiga huruf tersebut menggambarkan terjadinya hubungan antara yang memberi hutang (posisinya lebih tinggi) dengan yang diberi hutang (posisinya lebih rendah). Kemudian, dalam arti pembalasan, itu juga terdapat hubungan antara yang membalas dengan yang memberi balasan. Sedangkan dalam arti Agama, menggambarkan adanya hubungan antara Tuhan yang dipercayai dengan manusia yang mempercayai. Jadi, syarat mutlak sesuatu yang dinamakan Agama mesti terdapat hubungan antara Sang Khalik dan makhluk. Oleh karena itu, bila seseorang tidak melakukan hubungan dengan Tuhan berarti dia tidak beragama. Walaupun kita menafsirkan ayat ini dalam arti “pembalasan”, tetapi bukan berarti al-Quran tidak mengajak untuk menjalin hubungan baik dengan siapapun, karena ada ayat-ayat lain yang memerintahkan hal tersebut. Atau dengan kata lain, Islam menganjurkan adanya jalinan hubungan dan pengakuan akan eksistensi Agama-Agama. Sebenarnya kata ad-din pada ayat tadi bukan dalam pengertian Agama, melainkan berarti “pembalasan”. Kalaupun diartikan Agama, tetapi tidak dalam pengertian “Agama Islam”, karena Allah tidak memerintahkan Nabi untuk memaksa orang agar masuk Islam. Tidak ada paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama Islam. Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama kalian benar dan Agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri. Nabi SAW. Bersabda, “Dosa yang paling besar dari seorang manusia adalah memaki ayahnya”. Sahabat Nabi bertanya, bagaimana ada orang yang memaki ayahnya sendiri? Nabi SAW menjawab, “Karena orang tersebut memaki ayah orang lain, maka orang lain tersebut akan memaki Ayahnya ”. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bahwa perinsip menganut Agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa Agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai Agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk Agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama kalian benar dan Agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri. A. Saran Penulis sangatlah menyadari, bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis masih mengharapkan saran maupun keritikan yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Kamis, 16 Mei 2013

TAFSIR AL-QUR’AN AL-ADZIM


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Al-Quran adalah kitab yang agung dan sempurna juga merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral dan sumber inspirasi bagi umat Islam khususnya dan dunia pada umumnya. Tak terhitung kitab atau buku yang ditulis di dunia ini disebabkan informasi, hukum dan berbagai perilaku yang mesti dilakukan oleh manusia yang diperoleh dari Al-Quran.  Selain itu, yang paling mengesankan adalah bahwa Al-Quran dijadikan sebagai sumber pemersatu,  pemandu dan pemadu   gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah  pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
  2. Ayat-ayat Al-Quran masih bersifat global, sehingga menuntut umat Islam untuk melakukan studi atas kandungan isinya. Upaya untuk memahami kitab Allah   ( Al-Quran ) serta menerangkan maknanya  dan menjelaskan apa yang dikehendakinya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya disebut tafsir. Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan tafsir  telah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk  dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Dikarenakan kemampuan manusia atau ulama berbeda-beda dalam menggali dan memahami Al-Quran sesuai dengan keahlian corak pemikiran masing-masing, maka muncullah beragam tafsir. Keragaman tafsir yang ada  karena didorong oleh keadaan Al-Qur’an seperti yang dilukiskan oleh  Abdullah Darraz : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda  dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.



BAB II
PEMBAHASAN
 
TAFSIR AL-QUR’AN AL-ADZIM
A.      Biografi Imam Ibnu Katsir
Nama lengkap dari Imam Ibnu Katsir adalah ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qaisi al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Selain dikenal sebagai seorang imam, Beliau juga seorang al-hafizh, Sejarawan, Mufassir, sekaligus pakar fiqih. Beliau dikenal dengan julukan Ibnu Katsir,1 yaitu julukan yang disandarkan pada kakeknya (katsir).
Dia lahir di suatu kampung di wilayah Bashrah pada tahun tujuh ratus satu hijriah (701 H). Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayahnya yang menjadi seorang khatib di kampungnya, diwafatkan oleh Allah SWT. Dia kemudian diasuh dan dididik oleh kakaknya yang bernama Abdul Wahhab. Dan ketika berusia lima tahun, dia dikirim oleh kakaknya itu ke Damaskus untuk menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan dari Damaskus itulah, dia kemudian memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke berbagai kota yang ditinggali oleh kaum Muslimin.
Meskipun pada saat itu dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa. Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk diisi dengan cahaya ilmu. Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di majlis mereka itu, dia tampak demikian suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami, dan menghafal semua ilmu yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai seorang penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang telah dipelajarinya.
Di antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah, Isa bin al-Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi, Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, lbnu Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani. Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Hal itu dia lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada mertuanya yang ahli hadits tersebut.
lbnu Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia ingin ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus sebagai pembentuk sikap hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini pernah dibuktikan ketika dia harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah guru yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang dianutnya yang berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak berdzikir, taqwa, sabar, zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya itu di hari kiamat kelak bisa menjadi pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di hadapan mahkamah Allah SWT.
lbnu Habib pernah menulis tentang dirinya, "lbnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan yang banyak mewiridkan tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para penafsir. Semasa hidupnya, dia dikenal secara luas sebagai seorang ulama yang ahli di bidang hadits, tafsir, fiqh, sejarah, bahasa, dan sastra. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu itu, selain dia pergunakan untuk menyuluhi kehidupan dan membentuk sikap hidupnya, juga dia ajarkan kepada masyarakat luas, para murid yang secara khusus datang untuk belajar kepadanya, dan dia tuliskan ke dalam berbagai buku.
Hingga kini, di antara warisannya yang masih bisa ditemukan adalah buku-bukunya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim (terdiri dari sepuluh jilid), al-Bidayat wa an-Nihayah (terdiri dari sepuluh jilid), Jami' al-Masanid al-Asyrah (terdiri dari delapan jilid), al-Ijtihad fi Thalabi al-Jihad, Risalah fi al-Jihad, lkhtishar as-Sirah an-Nabawiyah, lkhtishar al-Ulum al-Hadits, Thabaqat al-Fuqaha asy-Syafi'iyin, at-Takmil fi Ma'rifati ats-Tsiqa wa adl-Dlu'afa wa al-Majahil dan banyak lagi.
Buku tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim itu adalah buku tafsir yang tidak terkira nilainya. Pada mulanya, buku ini dia tulis menjadi sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak menjadi empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal, Adapun metode penulisan tafsirnya adalah menafsirkan ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an itu sendiri, hadits, dan atsar yang sanadnya dia nukilkan dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya, dan uraian-uraian seperlunya.
Kini, buku tafsirnya itu seolah menjadi buku wajib bagi para pecinta tafsir bi ar-Riwayah yang ingin mendapatkan tafsiran ayat al-Qur'an yang tetap mengacu pada pemahaman para salaf ash-shalih yang ditulis secara tajam dan mengena. Maka tidak ayal buku tafsirnya itu merupakan warisan yang sangat berharga bagi kaum Muslimin yang hadir lebih kemudian dari para pendahulu mereka yang hidup di abad ketujuh hijriah. Animo kaum Muslimin yang besar terhadap buku ini bisa dilihat dari banyaknya buku ini diringkas oleh orang dan seringnya dia dicetak ulang.  Selain buku tafsirnya itu, sebenarnya masih banyak lagi bukunya yang lain yang tidak kalah penting dan berbobot. Seperti al-Bidayah wa an-Nihayah, yang merupakan buku sejarah yang dituliskan di dalamnya kejadian-kejadian bersejarah yang terjadi pada manusia pertama, Nabi Adam, hingga kejadian-kejadian bersejarah di tahun tujuh ratus enam puluh tujuh hijriah. Juga bukunya yang berjudul lkhtishar Ulum al-Hadits dan lain sebagainya.     
Di usia, tuanya, dia ditakdirkan oleh Allah SWT kehilangan penglihatannya. Dan pada bulan Sya'ban tahun tujuh ratus tujuh puluh empat hijriah, di usianya yang ketujuh puluh tiga tahun, dia pun berpulang ke hadirat Allah SwT dengan tenang. Selanjutnya dia dimakamkan di pemakaman ash-Shufiah, Damaskus, di sisi makam guru yang sangat dihormati dan dicintainya, Ibnu Taimiyah.
B.     Metode Penafsiran Ibnu Katsir
Al-Farmawi membagi metode tafsir yang digunakan oleh para mufasir kepada empat klasifikasi, yakni tahlili, ijmali, muqaran, dan mawdu’i. Adapun pengertiannya, secara garis besar, pertama, metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya. Kedua, metode ijmali, ialah suatu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara menafsirkan ayat-ayat secara garis besarnya saja, atau secara global. Ketiga, metode muqaran, ialah suatu metode dengan melakukan upaya komparasi, antara ayat dengan ayat yang nampak ada kemiripan redaksi, antara ayat dengan hadis yang mana antara keduanya seakan ada kontradiksi, dan membandingkan pendapat para ulama dalam menafsirkan suatu ayat. Keempat, metode mawdu’i, yaitu penafsiran al-Qur’an secara tematis, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat dibawah topik tertentu.
Jika melihat uraian metode-metode diatas, dari segi metode, Imam Ibnu Kasir menyusun kitab tafsirnya dengan menempuh metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan penafsiran ayat dengan cara analitis atau menafsirkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an dengan mengemukakan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkannya. Adapun dari segi corak, tafsir Ibnu Kasir tergolong kepada tafsir yang bercorak bil ma’sur, karena dalam upaya menafsirkan suatu ayat beliau sangat dominan dalam menafsirkannya menggunakan riwayat, pendapat sahabat, serta tabi’in, meskipun sebagian kecilnya beliau menggunakan ro’yu. Secara umum, langkah-langkah penafsirannya dapat dibagi sebagai berikut:
a.       Menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu beliau menjelaskan maksud suatu ayat dengan ayat yang lain. Sebagai contoh, ketika menjelaskan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104, beliau menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46. Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104 Allah SWT berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 šúï̍Ïÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Kasir menjelaskan bahwa Allah SWT melarang hambanya menyerupai orang-orang kafir, baik dengan perbuatan maupun perkataan. Dalam penjelasan ini beliau mencantumkan sebuah ayat di dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46 yang berbunyi.
 z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#rߊ$yd tbqèùÌhptä zNÎ=s3ø9$# `tã ¾ÏmÏèÅÊ#uq¨B tbqä9qà)tƒur $oY÷èÏÿxœ $uZøŠ|Átãur ôìoÿôœ$#ur uŽöxî 8ìyJó¡ãB $uZÏãºuur $CŠs9 öNÍkÉJt^Å¡ø9r'Î/ $YY÷èsÛur Îû ÈûïÏd9$# 4 öqs9ur öNåk¨Xr& (#qä9$s% $oY÷èÏÿxœ $uZ÷èsÛr&ur ôìoÿôœ$#ur $tRóÝàR$#ur tb%s3s9 #ZŽöyz öNçl°; tPuqø%r&ur `Å3»s9ur ãNåks]yè©9 ª!$# ÷L¿e̍øÿä3Î/ Ÿxsù tbqãYÏB÷sムžwÎ) WxŠÎ=s% ÇÍÏÈ  
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya, mereka berkata : “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya dan (mereka mengatakan pula) : “Dengarlah” sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa dan (mereka mengatakan) : “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama sekiranya mereka mengatakan : “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, Karena kekafiran mereka. mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali. Maka dapat difahami mengapa Allah SWT  melarang para sahabat agar tidak berkata[1]راعنا”.

b.      Menafsirkan ayat dengan riwayat atau hadis, yaitu ketika beliau tidak menemukan ayat yang mempunyai keterkaitan dengan ayat yang sedang di tafsirkan, maka beliau mencari riwayat yang menjelaskan ayat tersebut. Akan tetapi, sekalipun beliau menemukan ayat lain yang berhubungan dengan ayat yang sedang beliau tafsirkan, beliau tetap mencantumkan hadis atau riwayat. Namun hanya berfungsi untuk melengkapi penjelasan.
Sebagai Contoh Ayat Dengan Riwayat
Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu Telah berpaling sebelumnya, niscaya dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih” .
Dalam menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Kasir mencantumkan sebuah riwayat hadis yang bersumber dari Abu Hurairoh. Yang mana riwayat itu disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi SAW bersabda
             لا تقوم السّاعة حتىّ تقاتلوا صغار الأعين ذلف الأنوف كأنّ وجوههم المجانّ المطرقة                            Tidak akan datang hari Kiamat sehingga kalian memerangi suatu kaum yang bermata sipit, berhidung pesek, seolah-olah wajah mereka seperti perisai
 Ayat dengan ayat dan dilengkapi oleh riwayat Telah dekat datangnya saat itu dan Telah terbelah bulan. Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Ibnu Kasir dengan cara mengkorelasikannya dengan al-Qur’an surat an-Nahl ayat 1, yang berbunyi “ أتى أمر الله فلا تستعجلوه “ (Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar di segerakan) dan al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 1, yang mana Allah SWT berfirman:           
اقترب للنّاس حسا بهم وهم في غفلة معرضون 
Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amal mereka, sedang mereka dalam kelalaian lagi berpaling
 Kemudian penafsiran ini dilengkapi dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang bersumber dari Ibnu Umar. Nabi SAW bersabda:
                                                                                            
ما أعماركم في أعمار من مضى الاّ كما بقي من النّهار فيما مضى
“Umur kalian dibandingkan dengan umur orang-orang terdahulu seperti yang tersisa dari siang yang telah berlalu ini”
c.       Menafsirkan ayat dengan perkataan sahabat, yakni dalam menafsirkan suatu ayat terkadang Imam Ibnu Kasir menukil perkataan sahabat yang berkenaan dengan ayat tersebut. Diantara sahabat yang beliau nukil perkataannya adalah Ibnu Abbas. Salah satu contoh ayat yang beliau tafsirkan dengan menukil perkataan Ibnu Abbas adalah firman Allah Swt. didalam al-Qur’an surat al-Mu’min ayat 19. Allah Swt. berfirman:
ãNn=÷ètƒ spuZͬ!%s{ ÈûãüôãF{$# $tBur ÏÿøƒéB ârߐÁ9$# ÇÊÒÈ  
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Dalam penafsiran ayat ini, Imam Ibnu Kasir menukil perkataan Ibnu Abbas, sebagaimana dipaparkan oleh beliau didalam tafsirnya:
قا ل ابن عباس رضي الله عنهما في قوله تعالى (يعلم خا ئنة الأعين وما تخفى الصّدور) هو الرجل يدخل على اهل البيت بيتهم و فيهم المرأة الحسناء أو تمربه و بهم المرأة الحسناء فاذا غفلوا لحظ إليها فإذا فطنوا غض بصره عنها فإذا غفلوا لحظ فإذا فطنوا غض, وقد اطلع الله تعالى من قلبه أنه ود أن لو اطلع على فرجها. رواه ابن أبي حاتمز
Ibnu Abbas, semoga Allah meridoi keduanya, berkata tentang firman Allah ta’ala (Dia mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati) yaitu seorang laki-laki yang masuk ke sebuah penghuni rumah yang didalamnya ada seorang wanita cantik, atau wanita cantik itu melewatinya. Apabila mereka lengah, laki-laki itu menoleh kepada wanita itu. Apabila mereka mengawasi, laki-laki itu menahan pandangannya terhadap wanita itu. Apabila mereka lengah, ia menoleh, apabila mereka mengawasi, ia menahan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui hatinya yang berkeinginan, seandainya ia melihat auratnya. (Diriwayatkan oleh Abi Hatim).
d.       Menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in. Dalam corak tafsir bi al-ma’sur penafsiran al-Qur’an dengan menukil perkataan tabi’in adalah cara yang paling akhir. Adapun contoh penafsiran Ibnu Kasir dengan langkah ini misalkan firman Allah SWT.
M»¤ÿ¯»¢Á9$#ur $yÿ|¹

Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya.
Dalam menjelaskan ayat ini Imam Ibnu Kasir menukil beberapa keterangan tabi’in, seperti  Qatadah. Qatadah berkata:
الملائكة صفوف في السماء

Para Malaikat bershaff-shaff di langit.
 Menafsirkan ayat dengan ro’yu sebenarnya ini adalah cara yang tidak disenangi oleh Ibnu Kasir, namun beliau membolehkannya asal memenuhi syarat-syarat tertentu.[2]
C.    Corak Penafsiran
- Corak Umum
Dalam penafsiran Ibnu Katsir mengambil bentuk al ma’tsur dan menggunakan metode analitis. Hal itu tampak dari kecenderungan beliau untuk menjelaskan pemahaman ayat dari berbagai aspek seperti bahasa, kosa kata, asbabunuzul ayat juga beberapa riwayat dari para sahabat yang merupakan cirri dari al ma’tsur. Tapi yang paling penting dari penafsiran ini adalah tidak adanya dominasi pemikiran-pemikiran tertentu, tetapi bersifat umum. Sehingga sangatlah tepat apabila penulis menyebut penafsiran Ibnu Katsir di atas bercorak umum.[3]
- Corak Khusus
Telah disebutkan bahwa corak khusus adalah suatu pemikiran tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir, seperti fiqih, filsafat, adab ijtima’i, ilmiah, teologi, sastra. Sebagai contoh: Salah satu bentuk tafsir Alquran bercorak filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina berkenaan ash Shamad dalam surat al-Ikhlash ayat 2. Berkenaan dengan ash Shamad ini, Ibnu Sina menjelaskannya sebagai berikut:
Dari segi bahasa, kata ash Shamad memiliki dua penafsiran. Salah satu diantaranya adalah yang tidak mempunyai rongga (al jawf), dan yang kedua adalah tuan (as sayyid). Penafsiran yang pertama tidak tepat karena mengisyaratkan penafian substansi, karena setiap yang memiliki substansi pastilah memiliki rongga dan perut (al bathn). Padahal ada maujud yang tidak memiliki perut. Bila Dia dianggap ada, maka Dia tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan sesungguhnya, sesuatu yang berasal dari-Nya adalah ada dan tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan karena itu pula, ash shamad adalah yang haq yang mutlak harus ada dari segala segi. Sedangkan penafsiran yang kedua, sifatnya adalah penisbatan. Karena Dia adalah raja segala sesuatu, maka Dia juga awal bagi segala sesuatu
Berdasarkan kenyataan itu, memang jelas bahwa tafsir Ibnu Sina bercorak filsafat karena selain dokter beliau juga seorang filosof, walaupun sosoknya sebagai seorang dokter lebih dikenal ketimbang sebagai seorang filosof.
D.    Sistematika Penafsiran
   Sistematika yang ditempuh Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat-demi surat, dimulai dengan surat al-fātiḥah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Maka secara sistematika, tafsir ini menempuh Tartīb Muṣḥafī.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Kaṡīr menyajikan sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubugan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam Tartīb Muṣḥafī. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’an serta yang penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud nas.[4]
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Kaṡīr dalam memahami munāsabah dalam urutan ayat, selain munāsabah antar ayat (tafsīr al-qur’ān bi al-qur’ān) yang telah diakui kelebihannya oleh para peneliti.
E.     Sistematika Penulisan
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab tafsir yang menggunakan metode bil- matsur yang paling terkenal setelah kitab tafsir karanga Jarir at- Tabhari. Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah :
a)      Pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah yang lumayan panjang, di dalam muqadimah ini berisikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan al- Quran dan tafsirnya. Akan tetapi kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang diambil dari Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usul al- tafsir.
b)      Ayat al- Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran yang mudah dan ringkas. Dan seringkali di dalam penafsirannya disertakan ayat lain untuk menafsirkan ayat tadi. Dan inilah yang menjadikan tafsir beliau merupakan kategori tafsir bil- ma’tsur.
c)      Kemudian beliau ( Ibnu Katsir ) menyebutkan hadits- hadits marfu yang berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat- pendapat para sahabat dan para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari para sahabat dan tabi’in, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka. Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta melakukan jarh wa ta’dil terhadap para rawi hadits tersebut.
d)     Kebanyakan penafsiran dari Ibnu Katsir menukil dari tafsirnya Ibnu Jarir al- Tabhari,  tafsir Ibn Abi Hatim, tafsirnya Ibnu A’thiyyah. Akan tetapi tafsir al- Quran al- Karim karangan Ibnu Katsir ini berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan tentang kemunkaran israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan kadangkala menjelaskannya secara khusus.[5]
















BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-hamdulillah dengan mengalami berbagai macam cara untuk menganilsis bagaimana seorang Ibnu Katsir dalam menafsirkan suatu ayat, kini Inysaallah jelas sudah meskipun makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan apalagi dilihat dari segi keilmiyahan makalah ini bisa dibilang tidak mencapai lima puluh persen untuk mendekati perfect dari sisi keilimiyahannya.Namun inilah yang saya bisa sajikan sedikit banyak Insyaallah akan ada manfaatnya.
Sedangkan mengapa Ibnu Katsir menggunakan Tafsir bil-Ma’tsur,  itu karena penafsiran secara bil-Ma’tsur sendiri mampu menjaga orisinalitas wahyu, lafadz, dan makna Al-Qur’an dalam menafsirkan suatu ayat-ayat Al-Qur’an dengan melakukan pendekatan melalui metode tafsir “bil-Ma’tsur”  hal ini dapat kita lihat dengan adanya contoh diatas.Hal inilah yang membuat tafsir Ibnu Katsir menjadi pedoman  dan bermanfaat bagi semua orang dan di sepanjang zaman.
Wahyu merupakan risalah Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya melalui perantara malaikat Jibril, mimpi, ataupu secara langsung.Wahyu dalam arti ini adalah makna “risalah”, bukan ilham atau insting yang dapat diterima selain Nabi-Nabi-Nya dan makhluk lainnya.Seperti ilham kepada Ummu Musa dan insting yang dimiliki hewan (Q.S.An-Nahl : 68).Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks memahami wahyu itu sendiri dibutuhkan metodologi yang memungkinkan seseoragn itu mendapatkan pengertian yang benar dalam memahami setiap ayatnya. Maka sebagai penerang makna Al-Qur’an itu dibutuhkan ilmu tafsir sekaligus cara penafsirannya terkait dengan paradigma bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara lafadz dan makna sekaligus.Metodologi yang benar dapat memberikan pemahaman yang benar pula, demikian pula sebaliknya metodologi yang salah dapat menimbulkan pemahaman yang sangat fatal dalam memahami firman Allah yang mulia.
Itulah sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan wahyu Allah serta dilengkapi dengan sekilas tentang biografi beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga menetapkan syarat dan adab yang mendukung otoritas metodologi penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan oleh kualitas pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi keulamaannya, khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam lagi keilmuan tafsirnya.


[1] .  Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.
Maksudnya mereka mengatakan : Kami mendengar, sedang hati mereka mengatakan: Kami tidak mau menuruti.
Maksudnya mereka mengatakan: dengarlah, tetapi hati mereka mengatakan: Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengarkan (tuli).
Raa 'ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala Para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina Padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa'ina.

[2] . Yang dimaksud dengan rombongan yang bershaf-shaf  ialah Para Malaikat atau makhluk lain seperti burung-burung.

[3] . Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,jilid I. Hal. 28-29

[4] . Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; hal. 348
[5] .prof.Dr, Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta: Pt, Raja Grafindo Persada, Hal.60.