Kamis, 16 Mei 2013

TAFSIR AL-QUR’AN AL-ADZIM


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Al-Quran adalah kitab yang agung dan sempurna juga merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral dan sumber inspirasi bagi umat Islam khususnya dan dunia pada umumnya. Tak terhitung kitab atau buku yang ditulis di dunia ini disebabkan informasi, hukum dan berbagai perilaku yang mesti dilakukan oleh manusia yang diperoleh dari Al-Quran.  Selain itu, yang paling mengesankan adalah bahwa Al-Quran dijadikan sebagai sumber pemersatu,  pemandu dan pemadu   gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah  pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
  2. Ayat-ayat Al-Quran masih bersifat global, sehingga menuntut umat Islam untuk melakukan studi atas kandungan isinya. Upaya untuk memahami kitab Allah   ( Al-Quran ) serta menerangkan maknanya  dan menjelaskan apa yang dikehendakinya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya disebut tafsir. Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan tafsir  telah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk  dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Dikarenakan kemampuan manusia atau ulama berbeda-beda dalam menggali dan memahami Al-Quran sesuai dengan keahlian corak pemikiran masing-masing, maka muncullah beragam tafsir. Keragaman tafsir yang ada  karena didorong oleh keadaan Al-Qur’an seperti yang dilukiskan oleh  Abdullah Darraz : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda  dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.



BAB II
PEMBAHASAN
 
TAFSIR AL-QUR’AN AL-ADZIM
A.      Biografi Imam Ibnu Katsir
Nama lengkap dari Imam Ibnu Katsir adalah ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qaisi al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Selain dikenal sebagai seorang imam, Beliau juga seorang al-hafizh, Sejarawan, Mufassir, sekaligus pakar fiqih. Beliau dikenal dengan julukan Ibnu Katsir,1 yaitu julukan yang disandarkan pada kakeknya (katsir).
Dia lahir di suatu kampung di wilayah Bashrah pada tahun tujuh ratus satu hijriah (701 H). Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayahnya yang menjadi seorang khatib di kampungnya, diwafatkan oleh Allah SWT. Dia kemudian diasuh dan dididik oleh kakaknya yang bernama Abdul Wahhab. Dan ketika berusia lima tahun, dia dikirim oleh kakaknya itu ke Damaskus untuk menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan dari Damaskus itulah, dia kemudian memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu ke berbagai kota yang ditinggali oleh kaum Muslimin.
Meskipun pada saat itu dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa. Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk diisi dengan cahaya ilmu. Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di majlis mereka itu, dia tampak demikian suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami, dan menghafal semua ilmu yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai seorang penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang telah dipelajarinya.
Di antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah, Isa bin al-Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi, Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, lbnu Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani. Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Hal itu dia lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada mertuanya yang ahli hadits tersebut.
lbnu Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia ingin ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus sebagai pembentuk sikap hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini pernah dibuktikan ketika dia harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah guru yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang dianutnya yang berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak berdzikir, taqwa, sabar, zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya itu di hari kiamat kelak bisa menjadi pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di hadapan mahkamah Allah SWT.
lbnu Habib pernah menulis tentang dirinya, "lbnu Katsir adalah seorang pemimpin keagamaan yang banyak mewiridkan tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka para penafsir. Semasa hidupnya, dia dikenal secara luas sebagai seorang ulama yang ahli di bidang hadits, tafsir, fiqh, sejarah, bahasa, dan sastra. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu itu, selain dia pergunakan untuk menyuluhi kehidupan dan membentuk sikap hidupnya, juga dia ajarkan kepada masyarakat luas, para murid yang secara khusus datang untuk belajar kepadanya, dan dia tuliskan ke dalam berbagai buku.
Hingga kini, di antara warisannya yang masih bisa ditemukan adalah buku-bukunya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim (terdiri dari sepuluh jilid), al-Bidayat wa an-Nihayah (terdiri dari sepuluh jilid), Jami' al-Masanid al-Asyrah (terdiri dari delapan jilid), al-Ijtihad fi Thalabi al-Jihad, Risalah fi al-Jihad, lkhtishar as-Sirah an-Nabawiyah, lkhtishar al-Ulum al-Hadits, Thabaqat al-Fuqaha asy-Syafi'iyin, at-Takmil fi Ma'rifati ats-Tsiqa wa adl-Dlu'afa wa al-Majahil dan banyak lagi.
Buku tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim itu adalah buku tafsir yang tidak terkira nilainya. Pada mulanya, buku ini dia tulis menjadi sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak menjadi empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal, Adapun metode penulisan tafsirnya adalah menafsirkan ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an itu sendiri, hadits, dan atsar yang sanadnya dia nukilkan dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya, dan uraian-uraian seperlunya.
Kini, buku tafsirnya itu seolah menjadi buku wajib bagi para pecinta tafsir bi ar-Riwayah yang ingin mendapatkan tafsiran ayat al-Qur'an yang tetap mengacu pada pemahaman para salaf ash-shalih yang ditulis secara tajam dan mengena. Maka tidak ayal buku tafsirnya itu merupakan warisan yang sangat berharga bagi kaum Muslimin yang hadir lebih kemudian dari para pendahulu mereka yang hidup di abad ketujuh hijriah. Animo kaum Muslimin yang besar terhadap buku ini bisa dilihat dari banyaknya buku ini diringkas oleh orang dan seringnya dia dicetak ulang.  Selain buku tafsirnya itu, sebenarnya masih banyak lagi bukunya yang lain yang tidak kalah penting dan berbobot. Seperti al-Bidayah wa an-Nihayah, yang merupakan buku sejarah yang dituliskan di dalamnya kejadian-kejadian bersejarah yang terjadi pada manusia pertama, Nabi Adam, hingga kejadian-kejadian bersejarah di tahun tujuh ratus enam puluh tujuh hijriah. Juga bukunya yang berjudul lkhtishar Ulum al-Hadits dan lain sebagainya.     
Di usia, tuanya, dia ditakdirkan oleh Allah SWT kehilangan penglihatannya. Dan pada bulan Sya'ban tahun tujuh ratus tujuh puluh empat hijriah, di usianya yang ketujuh puluh tiga tahun, dia pun berpulang ke hadirat Allah SwT dengan tenang. Selanjutnya dia dimakamkan di pemakaman ash-Shufiah, Damaskus, di sisi makam guru yang sangat dihormati dan dicintainya, Ibnu Taimiyah.
B.     Metode Penafsiran Ibnu Katsir
Al-Farmawi membagi metode tafsir yang digunakan oleh para mufasir kepada empat klasifikasi, yakni tahlili, ijmali, muqaran, dan mawdu’i. Adapun pengertiannya, secara garis besar, pertama, metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya. Kedua, metode ijmali, ialah suatu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara menafsirkan ayat-ayat secara garis besarnya saja, atau secara global. Ketiga, metode muqaran, ialah suatu metode dengan melakukan upaya komparasi, antara ayat dengan ayat yang nampak ada kemiripan redaksi, antara ayat dengan hadis yang mana antara keduanya seakan ada kontradiksi, dan membandingkan pendapat para ulama dalam menafsirkan suatu ayat. Keempat, metode mawdu’i, yaitu penafsiran al-Qur’an secara tematis, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat dibawah topik tertentu.
Jika melihat uraian metode-metode diatas, dari segi metode, Imam Ibnu Kasir menyusun kitab tafsirnya dengan menempuh metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan penafsiran ayat dengan cara analitis atau menafsirkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an dengan mengemukakan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkannya. Adapun dari segi corak, tafsir Ibnu Kasir tergolong kepada tafsir yang bercorak bil ma’sur, karena dalam upaya menafsirkan suatu ayat beliau sangat dominan dalam menafsirkannya menggunakan riwayat, pendapat sahabat, serta tabi’in, meskipun sebagian kecilnya beliau menggunakan ro’yu. Secara umum, langkah-langkah penafsirannya dapat dibagi sebagai berikut:
a.       Menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu beliau menjelaskan maksud suatu ayat dengan ayat yang lain. Sebagai contoh, ketika menjelaskan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104, beliau menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46. Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104 Allah SWT berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 šúï̍Ïÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Kasir menjelaskan bahwa Allah SWT melarang hambanya menyerupai orang-orang kafir, baik dengan perbuatan maupun perkataan. Dalam penjelasan ini beliau mencantumkan sebuah ayat di dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46 yang berbunyi.
 z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#rߊ$yd tbqèùÌhptä zNÎ=s3ø9$# `tã ¾ÏmÏèÅÊ#uq¨B tbqä9qà)tƒur $oY÷èÏÿxœ $uZøŠ|Átãur ôìoÿôœ$#ur uŽöxî 8ìyJó¡ãB $uZÏãºuur $CŠs9 öNÍkÉJt^Å¡ø9r'Î/ $YY÷èsÛur Îû ÈûïÏd9$# 4 öqs9ur öNåk¨Xr& (#qä9$s% $oY÷èÏÿxœ $uZ÷èsÛr&ur ôìoÿôœ$#ur $tRóÝàR$#ur tb%s3s9 #ZŽöyz öNçl°; tPuqø%r&ur `Å3»s9ur ãNåks]yè©9 ª!$# ÷L¿e̍øÿä3Î/ Ÿxsù tbqãYÏB÷sムžwÎ) WxŠÎ=s% ÇÍÏÈ  
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya, mereka berkata : “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya dan (mereka mengatakan pula) : “Dengarlah” sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa dan (mereka mengatakan) : “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama sekiranya mereka mengatakan : “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, Karena kekafiran mereka. mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali. Maka dapat difahami mengapa Allah SWT  melarang para sahabat agar tidak berkata[1]راعنا”.

b.      Menafsirkan ayat dengan riwayat atau hadis, yaitu ketika beliau tidak menemukan ayat yang mempunyai keterkaitan dengan ayat yang sedang di tafsirkan, maka beliau mencari riwayat yang menjelaskan ayat tersebut. Akan tetapi, sekalipun beliau menemukan ayat lain yang berhubungan dengan ayat yang sedang beliau tafsirkan, beliau tetap mencantumkan hadis atau riwayat. Namun hanya berfungsi untuk melengkapi penjelasan.
Sebagai Contoh Ayat Dengan Riwayat
Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu Telah berpaling sebelumnya, niscaya dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih” .
Dalam menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Kasir mencantumkan sebuah riwayat hadis yang bersumber dari Abu Hurairoh. Yang mana riwayat itu disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi SAW bersabda
             لا تقوم السّاعة حتىّ تقاتلوا صغار الأعين ذلف الأنوف كأنّ وجوههم المجانّ المطرقة                            Tidak akan datang hari Kiamat sehingga kalian memerangi suatu kaum yang bermata sipit, berhidung pesek, seolah-olah wajah mereka seperti perisai
 Ayat dengan ayat dan dilengkapi oleh riwayat Telah dekat datangnya saat itu dan Telah terbelah bulan. Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Ibnu Kasir dengan cara mengkorelasikannya dengan al-Qur’an surat an-Nahl ayat 1, yang berbunyi “ أتى أمر الله فلا تستعجلوه “ (Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar di segerakan) dan al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 1, yang mana Allah SWT berfirman:           
اقترب للنّاس حسا بهم وهم في غفلة معرضون 
Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amal mereka, sedang mereka dalam kelalaian lagi berpaling
 Kemudian penafsiran ini dilengkapi dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang bersumber dari Ibnu Umar. Nabi SAW bersabda:
                                                                                            
ما أعماركم في أعمار من مضى الاّ كما بقي من النّهار فيما مضى
“Umur kalian dibandingkan dengan umur orang-orang terdahulu seperti yang tersisa dari siang yang telah berlalu ini”
c.       Menafsirkan ayat dengan perkataan sahabat, yakni dalam menafsirkan suatu ayat terkadang Imam Ibnu Kasir menukil perkataan sahabat yang berkenaan dengan ayat tersebut. Diantara sahabat yang beliau nukil perkataannya adalah Ibnu Abbas. Salah satu contoh ayat yang beliau tafsirkan dengan menukil perkataan Ibnu Abbas adalah firman Allah Swt. didalam al-Qur’an surat al-Mu’min ayat 19. Allah Swt. berfirman:
ãNn=÷ètƒ spuZͬ!%s{ ÈûãüôãF{$# $tBur ÏÿøƒéB ârߐÁ9$# ÇÊÒÈ  
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Dalam penafsiran ayat ini, Imam Ibnu Kasir menukil perkataan Ibnu Abbas, sebagaimana dipaparkan oleh beliau didalam tafsirnya:
قا ل ابن عباس رضي الله عنهما في قوله تعالى (يعلم خا ئنة الأعين وما تخفى الصّدور) هو الرجل يدخل على اهل البيت بيتهم و فيهم المرأة الحسناء أو تمربه و بهم المرأة الحسناء فاذا غفلوا لحظ إليها فإذا فطنوا غض بصره عنها فإذا غفلوا لحظ فإذا فطنوا غض, وقد اطلع الله تعالى من قلبه أنه ود أن لو اطلع على فرجها. رواه ابن أبي حاتمز
Ibnu Abbas, semoga Allah meridoi keduanya, berkata tentang firman Allah ta’ala (Dia mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati) yaitu seorang laki-laki yang masuk ke sebuah penghuni rumah yang didalamnya ada seorang wanita cantik, atau wanita cantik itu melewatinya. Apabila mereka lengah, laki-laki itu menoleh kepada wanita itu. Apabila mereka mengawasi, laki-laki itu menahan pandangannya terhadap wanita itu. Apabila mereka lengah, ia menoleh, apabila mereka mengawasi, ia menahan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui hatinya yang berkeinginan, seandainya ia melihat auratnya. (Diriwayatkan oleh Abi Hatim).
d.       Menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in. Dalam corak tafsir bi al-ma’sur penafsiran al-Qur’an dengan menukil perkataan tabi’in adalah cara yang paling akhir. Adapun contoh penafsiran Ibnu Kasir dengan langkah ini misalkan firman Allah SWT.
M»¤ÿ¯»¢Á9$#ur $yÿ|¹

Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya.
Dalam menjelaskan ayat ini Imam Ibnu Kasir menukil beberapa keterangan tabi’in, seperti  Qatadah. Qatadah berkata:
الملائكة صفوف في السماء

Para Malaikat bershaff-shaff di langit.
 Menafsirkan ayat dengan ro’yu sebenarnya ini adalah cara yang tidak disenangi oleh Ibnu Kasir, namun beliau membolehkannya asal memenuhi syarat-syarat tertentu.[2]
C.    Corak Penafsiran
- Corak Umum
Dalam penafsiran Ibnu Katsir mengambil bentuk al ma’tsur dan menggunakan metode analitis. Hal itu tampak dari kecenderungan beliau untuk menjelaskan pemahaman ayat dari berbagai aspek seperti bahasa, kosa kata, asbabunuzul ayat juga beberapa riwayat dari para sahabat yang merupakan cirri dari al ma’tsur. Tapi yang paling penting dari penafsiran ini adalah tidak adanya dominasi pemikiran-pemikiran tertentu, tetapi bersifat umum. Sehingga sangatlah tepat apabila penulis menyebut penafsiran Ibnu Katsir di atas bercorak umum.[3]
- Corak Khusus
Telah disebutkan bahwa corak khusus adalah suatu pemikiran tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir, seperti fiqih, filsafat, adab ijtima’i, ilmiah, teologi, sastra. Sebagai contoh: Salah satu bentuk tafsir Alquran bercorak filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina berkenaan ash Shamad dalam surat al-Ikhlash ayat 2. Berkenaan dengan ash Shamad ini, Ibnu Sina menjelaskannya sebagai berikut:
Dari segi bahasa, kata ash Shamad memiliki dua penafsiran. Salah satu diantaranya adalah yang tidak mempunyai rongga (al jawf), dan yang kedua adalah tuan (as sayyid). Penafsiran yang pertama tidak tepat karena mengisyaratkan penafian substansi, karena setiap yang memiliki substansi pastilah memiliki rongga dan perut (al bathn). Padahal ada maujud yang tidak memiliki perut. Bila Dia dianggap ada, maka Dia tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan sesungguhnya, sesuatu yang berasal dari-Nya adalah ada dan tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan karena itu pula, ash shamad adalah yang haq yang mutlak harus ada dari segala segi. Sedangkan penafsiran yang kedua, sifatnya adalah penisbatan. Karena Dia adalah raja segala sesuatu, maka Dia juga awal bagi segala sesuatu
Berdasarkan kenyataan itu, memang jelas bahwa tafsir Ibnu Sina bercorak filsafat karena selain dokter beliau juga seorang filosof, walaupun sosoknya sebagai seorang dokter lebih dikenal ketimbang sebagai seorang filosof.
D.    Sistematika Penafsiran
   Sistematika yang ditempuh Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat-demi surat, dimulai dengan surat al-fātiḥah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Maka secara sistematika, tafsir ini menempuh Tartīb Muṣḥafī.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Kaṡīr menyajikan sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubugan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam Tartīb Muṣḥafī. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’an serta yang penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud nas.[4]
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Kaṡīr dalam memahami munāsabah dalam urutan ayat, selain munāsabah antar ayat (tafsīr al-qur’ān bi al-qur’ān) yang telah diakui kelebihannya oleh para peneliti.
E.     Sistematika Penulisan
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab tafsir yang menggunakan metode bil- matsur yang paling terkenal setelah kitab tafsir karanga Jarir at- Tabhari. Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah :
a)      Pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah yang lumayan panjang, di dalam muqadimah ini berisikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan al- Quran dan tafsirnya. Akan tetapi kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang diambil dari Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usul al- tafsir.
b)      Ayat al- Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran yang mudah dan ringkas. Dan seringkali di dalam penafsirannya disertakan ayat lain untuk menafsirkan ayat tadi. Dan inilah yang menjadikan tafsir beliau merupakan kategori tafsir bil- ma’tsur.
c)      Kemudian beliau ( Ibnu Katsir ) menyebutkan hadits- hadits marfu yang berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat- pendapat para sahabat dan para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari para sahabat dan tabi’in, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka. Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta melakukan jarh wa ta’dil terhadap para rawi hadits tersebut.
d)     Kebanyakan penafsiran dari Ibnu Katsir menukil dari tafsirnya Ibnu Jarir al- Tabhari,  tafsir Ibn Abi Hatim, tafsirnya Ibnu A’thiyyah. Akan tetapi tafsir al- Quran al- Karim karangan Ibnu Katsir ini berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan tentang kemunkaran israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan kadangkala menjelaskannya secara khusus.[5]
















BAB III
 PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-hamdulillah dengan mengalami berbagai macam cara untuk menganilsis bagaimana seorang Ibnu Katsir dalam menafsirkan suatu ayat, kini Inysaallah jelas sudah meskipun makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan apalagi dilihat dari segi keilmiyahan makalah ini bisa dibilang tidak mencapai lima puluh persen untuk mendekati perfect dari sisi keilimiyahannya.Namun inilah yang saya bisa sajikan sedikit banyak Insyaallah akan ada manfaatnya.
Sedangkan mengapa Ibnu Katsir menggunakan Tafsir bil-Ma’tsur,  itu karena penafsiran secara bil-Ma’tsur sendiri mampu menjaga orisinalitas wahyu, lafadz, dan makna Al-Qur’an dalam menafsirkan suatu ayat-ayat Al-Qur’an dengan melakukan pendekatan melalui metode tafsir “bil-Ma’tsur”  hal ini dapat kita lihat dengan adanya contoh diatas.Hal inilah yang membuat tafsir Ibnu Katsir menjadi pedoman  dan bermanfaat bagi semua orang dan di sepanjang zaman.
Wahyu merupakan risalah Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya melalui perantara malaikat Jibril, mimpi, ataupu secara langsung.Wahyu dalam arti ini adalah makna “risalah”, bukan ilham atau insting yang dapat diterima selain Nabi-Nabi-Nya dan makhluk lainnya.Seperti ilham kepada Ummu Musa dan insting yang dimiliki hewan (Q.S.An-Nahl : 68).Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks memahami wahyu itu sendiri dibutuhkan metodologi yang memungkinkan seseoragn itu mendapatkan pengertian yang benar dalam memahami setiap ayatnya. Maka sebagai penerang makna Al-Qur’an itu dibutuhkan ilmu tafsir sekaligus cara penafsirannya terkait dengan paradigma bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara lafadz dan makna sekaligus.Metodologi yang benar dapat memberikan pemahaman yang benar pula, demikian pula sebaliknya metodologi yang salah dapat menimbulkan pemahaman yang sangat fatal dalam memahami firman Allah yang mulia.
Itulah sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan wahyu Allah serta dilengkapi dengan sekilas tentang biografi beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga menetapkan syarat dan adab yang mendukung otoritas metodologi penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan oleh kualitas pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi keulamaannya, khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam lagi keilmuan tafsirnya.


[1] .  Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.
Maksudnya mereka mengatakan : Kami mendengar, sedang hati mereka mengatakan: Kami tidak mau menuruti.
Maksudnya mereka mengatakan: dengarlah, tetapi hati mereka mengatakan: Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengarkan (tuli).
Raa 'ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala Para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina Padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa'ina.

[2] . Yang dimaksud dengan rombongan yang bershaf-shaf  ialah Para Malaikat atau makhluk lain seperti burung-burung.

[3] . Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Ḥāfiẓ Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān,jilid I. Hal. 28-29

[4] . Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; hal. 348
[5] .prof.Dr, Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta: Pt, Raja Grafindo Persada, Hal.60.