BAB
I
PENDAHULUAN
- Al-Quran adalah kitab yang agung dan sempurna juga merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral dan sumber inspirasi bagi umat Islam khususnya dan dunia pada umumnya. Tak terhitung kitab atau buku yang ditulis di dunia ini disebabkan informasi, hukum dan berbagai perilaku yang mesti dilakukan oleh manusia yang diperoleh dari Al-Quran. Selain itu, yang paling mengesankan adalah bahwa Al-Quran dijadikan sebagai sumber pemersatu, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
- Ayat-ayat Al-Quran masih bersifat global, sehingga menuntut umat Islam untuk melakukan studi atas kandungan isinya. Upaya untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) serta menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya disebut tafsir. Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan tafsir telah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Dikarenakan kemampuan manusia atau ulama berbeda-beda dalam menggali dan memahami Al-Quran sesuai dengan keahlian corak pemikiran masing-masing, maka muncullah beragam tafsir. Keragaman tafsir yang ada karena didorong oleh keadaan Al-Qur’an seperti yang dilukiskan oleh Abdullah Darraz : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR AL-QUR’AN
AL-ADZIM
A. Biografi Imam Ibnu Katsir
Nama lengkap
dari Imam Ibnu Katsir adalah ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
al-Qaisi al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Selain dikenal sebagai seorang imam, Beliau
juga seorang al-hafizh, Sejarawan, Mufassir, sekaligus pakar fiqih. Beliau
dikenal dengan julukan Ibnu Katsir,1 yaitu julukan yang disandarkan
pada kakeknya (katsir).
Dia
lahir di suatu kampung di wilayah Bashrah pada tahun tujuh ratus satu hijriah
(701 H). Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayahnya yang menjadi seorang
khatib di kampungnya, diwafatkan oleh Allah SWT. Dia kemudian diasuh dan
dididik oleh kakaknya yang bernama Abdul Wahhab. Dan ketika berusia lima tahun,
dia dikirim oleh kakaknya itu ke Damaskus untuk menuntut ilmu-ilmu Islam. Dan
dari Damaskus itulah, dia kemudian memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu
ke berbagai kota yang ditinggali oleh kaum Muslimin.
Meskipun
pada saat itu dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu
dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana
banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan,
dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan
semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus
meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang
masih tersisa. Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk
diisi dengan cahaya ilmu. Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli
sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di majlis mereka itu, dia tampak demikian
suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami, dan menghafal semua ilmu
yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai seorang
penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang
telah dipelajarinya.
Di
antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah,
Isa bin al-Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi,
Ishaq bin Yahya al-Amidi, Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, lbnu
Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani. Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi
untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian
hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu
Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada
hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki
al-Mizzi. Hal itu dia lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada
mertuanya yang ahli hadits tersebut.
lbnu
Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia
ingin ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus
sebagai pembentuk sikap hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk
gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini pernah dibuktikan ketika dia
harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah karena
mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah
guru yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang
dianutnya yang berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Di
samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti
yang umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak
berdzikir, taqwa, sabar, zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian
antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya itu di hari kiamat kelak bisa menjadi
pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di hadapan mahkamah Allah SWT.
lbnu
Habib pernah menulis tentang dirinya, "lbnu Katsir adalah seorang pemimpin
keagamaan yang banyak mewiridkan tasbih dan tahlil. Dia juga seorang pemuka
para penafsir. Semasa hidupnya, dia dikenal secara luas sebagai seorang ulama
yang ahli di bidang hadits, tafsir, fiqh, sejarah, bahasa, dan sastra.
Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu itu, selain dia pergunakan untuk
menyuluhi kehidupan dan membentuk sikap hidupnya, juga dia ajarkan kepada
masyarakat luas, para murid yang secara khusus datang untuk belajar kepadanya,
dan dia tuliskan ke dalam berbagai buku.
Hingga
kini, di antara warisannya yang masih bisa ditemukan adalah buku-bukunya yang
berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim (terdiri dari sepuluh jilid), al-Bidayat wa
an-Nihayah (terdiri dari sepuluh jilid), Jami' al-Masanid al-Asyrah (terdiri
dari delapan jilid), al-Ijtihad fi Thalabi al-Jihad, Risalah fi al-Jihad,
lkhtishar as-Sirah an-Nabawiyah, lkhtishar al-Ulum al-Hadits, Thabaqat
al-Fuqaha asy-Syafi'iyin, at-Takmil fi Ma'rifati ats-Tsiqa wa adl-Dlu'afa wa
al-Majahil dan banyak lagi.
Buku
tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim itu adalah buku tafsir yang
tidak terkira nilainya. Pada mulanya, buku ini dia tulis menjadi sepuluh jilid,
tapi kemudian dicetak menjadi empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal,
Adapun metode penulisan tafsirnya adalah menafsirkan ayat al-Qur'an dengan ayat
al-Qur'an itu sendiri, hadits, dan atsar yang sanadnya dia nukilkan dari
sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya, dan uraian-uraian
seperlunya.
Kini,
buku tafsirnya itu seolah menjadi buku wajib bagi para pecinta tafsir bi ar-Riwayah
yang ingin mendapatkan tafsiran ayat al-Qur'an yang tetap mengacu pada
pemahaman para salaf ash-shalih yang ditulis secara tajam dan mengena. Maka
tidak ayal buku tafsirnya itu merupakan warisan yang sangat berharga bagi kaum
Muslimin yang hadir lebih kemudian dari para pendahulu mereka yang hidup di
abad ketujuh hijriah. Animo kaum Muslimin yang besar terhadap buku ini bisa
dilihat dari banyaknya buku ini diringkas oleh orang dan seringnya dia dicetak
ulang. Selain buku tafsirnya itu,
sebenarnya masih banyak lagi bukunya yang lain yang tidak kalah penting dan
berbobot. Seperti al-Bidayah wa an-Nihayah, yang merupakan buku sejarah yang
dituliskan di dalamnya kejadian-kejadian bersejarah yang terjadi pada manusia
pertama, Nabi Adam, hingga kejadian-kejadian bersejarah di tahun tujuh ratus
enam puluh tujuh hijriah. Juga bukunya yang berjudul lkhtishar Ulum al-Hadits
dan lain sebagainya.
Di
usia, tuanya, dia ditakdirkan oleh Allah SWT kehilangan penglihatannya. Dan
pada bulan Sya'ban tahun tujuh ratus tujuh puluh empat hijriah, di usianya yang
ketujuh puluh tiga tahun, dia pun berpulang ke hadirat Allah SwT dengan tenang.
Selanjutnya dia dimakamkan di pemakaman ash-Shufiah, Damaskus, di sisi makam
guru yang sangat dihormati dan dicintainya, Ibnu Taimiyah.
B. Metode Penafsiran Ibnu Katsir
Al-Farmawi
membagi metode tafsir yang digunakan oleh para mufasir kepada empat
klasifikasi, yakni tahlili, ijmali, muqaran, dan mawdu’i. Adapun pengertiannya,
secara garis besar, pertama, metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya. Kedua,
metode ijmali, ialah suatu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara menafsirkan
ayat-ayat secara garis besarnya saja, atau secara global. Ketiga, metode
muqaran, ialah suatu metode dengan melakukan upaya komparasi, antara ayat
dengan ayat yang nampak ada kemiripan redaksi, antara ayat dengan hadis yang
mana antara keduanya seakan ada kontradiksi, dan membandingkan pendapat para
ulama dalam menafsirkan suatu ayat. Keempat, metode mawdu’i, yaitu
penafsiran al-Qur’an secara tematis, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat dibawah
topik tertentu.
Jika
melihat uraian metode-metode diatas, dari segi metode, Imam Ibnu Kasir menyusun
kitab tafsirnya dengan menempuh metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan penafsiran ayat dengan cara analitis atau menafsirkan ayat-ayat
di dalam al-Qur’an dengan mengemukakan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang di tafsirkannya. Adapun dari segi corak, tafsir Ibnu Kasir
tergolong kepada tafsir yang bercorak bil ma’sur, karena dalam upaya
menafsirkan suatu ayat beliau sangat dominan dalam menafsirkannya menggunakan
riwayat, pendapat sahabat, serta tabi’in, meskipun sebagian kecilnya beliau
menggunakan ro’yu. Secara umum, langkah-langkah penafsirannya dapat dibagi
sebagai berikut:
a.
Menafsirkan
ayat dengan ayat, yaitu beliau menjelaskan maksud suatu ayat dengan ayat yang
lain. Sebagai contoh, ketika menjelaskan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104,
beliau menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46. Di
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 104 Allah SWT berfirman:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#qä9qà)s?
$uZ싼u
(#qä9qè%ur
$tRöÝàR$#
(#qãèyJó$#ur
3
úïÌÏÿ»x6ù=Ï9ur
ë>#xtã
ÒOÏ9r&
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”,
tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Kasir
menjelaskan bahwa Allah SWT melarang hambanya menyerupai orang-orang kafir,
baik dengan perbuatan maupun perkataan. Dalam penjelasan ini beliau
mencantumkan sebuah ayat di dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 46 yang
berbunyi.
z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#rß$yd tbqèùÌhptä zNÎ=s3ø9$# `tã ¾ÏmÏèÅÊ#uq¨B tbqä9qà)tur $oY÷èÏÿx $uZø|Átãur ôìoÿô$#ur uöxî 8ìyJó¡ãB $uZÏãºuur $Cs9 öNÍkÉJt^Å¡ø9r'Î/ $YY÷èsÛur Îû ÈûïÏd9$# 4 öqs9ur öNåk¨Xr& (#qä9$s% $oY÷èÏÿx $uZ÷èsÛr&ur ôìoÿô$#ur $tRóÝàR$#ur tb%s3s9 #Zöyz öNçl°; tPuqø%r&ur `Å3»s9ur ãNåks]yè©9 ª!$# ÷L¿eÌøÿä3Î/ xsù tbqãYÏB÷sã wÎ) WxÎ=s% ÇÍÏÈ
Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya, mereka berkata
: “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya dan (mereka mengatakan
pula) : “Dengarlah” sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa dan (mereka
mengatakan) : “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama sekiranya
mereka mengatakan : “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan
perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan
tetapi Allah mengutuk mereka, Karena kekafiran mereka. mereka tidak beriman
kecuali sedikit sekali. Maka dapat difahami mengapa Allah SWT melarang para sahabat agar tidak berkata[1] “ راعنا”.
b. Menafsirkan
ayat dengan riwayat atau hadis, yaitu ketika beliau tidak menemukan ayat yang
mempunyai keterkaitan dengan ayat yang sedang di tafsirkan, maka beliau mencari
riwayat yang menjelaskan ayat tersebut. Akan tetapi, sekalipun beliau menemukan
ayat lain yang berhubungan dengan ayat yang sedang beliau tafsirkan, beliau
tetap mencantumkan hadis atau riwayat. Namun hanya berfungsi untuk melengkapi
penjelasan.
Sebagai
Contoh Ayat Dengan Riwayat
Katakanlah
kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi)
kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka
menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan
memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu
Telah berpaling sebelumnya, niscaya dia akan mengazab kamu dengan azab yang
pedih” .
Dalam menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Kasir
mencantumkan sebuah riwayat hadis yang bersumber dari Abu Hurairoh. Yang mana
riwayat itu disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi SAW bersabda
لا تقوم السّاعة حتىّ
تقاتلوا صغار الأعين ذلف الأنوف كأنّ وجوههم المجانّ المطرقة “Tidak akan datang hari Kiamat
sehingga kalian memerangi suatu kaum yang bermata sipit, berhidung pesek,
seolah-olah wajah mereka seperti perisai”
Ayat dengan ayat dan dilengkapi oleh riwayat Telah
dekat datangnya saat itu dan Telah terbelah bulan. Ayat ini ditafsirkan oleh
Imam Ibnu Kasir dengan cara mengkorelasikannya dengan al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 1, yang berbunyi “ أتى أمر الله فلا تستعجلوه “ (Telah pasti datangnya ketetapan Allah,
maka janganlah kamu meminta agar di segerakan) dan al-Qur’an surat al-Anbiya
ayat 1, yang mana Allah SWT berfirman:
اقترب للنّاس حسا بهم وهم في غفلة معرضون
اقترب للنّاس حسا بهم وهم في غفلة معرضون
Telah
dekat kepada manusia hari menghisab segala amal mereka, sedang mereka dalam
kelalaian lagi berpaling
Kemudian penafsiran ini dilengkapi dengan
sabda Nabi Muhammad Saw yang bersumber dari Ibnu Umar. Nabi SAW bersabda:
ما أعماركم في أعمار من مضى الاّ كما بقي من النّهار فيما مضى
“Umur kalian dibandingkan dengan umur orang-orang terdahulu seperti yang tersisa dari siang yang telah berlalu ini”
c. Menafsirkan
ayat dengan perkataan sahabat, yakni dalam menafsirkan suatu ayat terkadang
Imam Ibnu Kasir menukil perkataan sahabat yang berkenaan dengan ayat tersebut.
Diantara sahabat yang beliau nukil perkataannya adalah Ibnu Abbas. Salah satu
contoh ayat yang beliau tafsirkan dengan menukil perkataan Ibnu Abbas adalah
firman Allah Swt. didalam al-Qur’an surat al-Mu’min ayat 19. Allah Swt.
berfirman:
ãNn=÷èt spuZͬ!%s{
ÈûãüôãF{$# $tBur
ÏÿøéB ârßÁ9$#
ÇÊÒÈ
Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Dalam
penafsiran ayat ini, Imam Ibnu Kasir menukil perkataan Ibnu Abbas, sebagaimana
dipaparkan oleh beliau didalam tafsirnya:
قا ل ابن
عباس رضي الله عنهما في قوله تعالى (يعلم خا ئنة الأعين وما تخفى الصّدور) هو
الرجل يدخل على اهل البيت بيتهم و فيهم المرأة الحسناء أو تمربه و بهم المرأة
الحسناء فاذا غفلوا لحظ إليها فإذا فطنوا غض بصره عنها فإذا غفلوا لحظ فإذا فطنوا
غض, وقد اطلع الله تعالى من قلبه أنه ود أن لو اطلع على فرجها. رواه ابن أبي حاتمز
Ibnu
Abbas, semoga Allah meridoi keduanya, berkata tentang firman Allah ta’ala (Dia
mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati) yaitu
seorang laki-laki yang masuk ke sebuah penghuni rumah yang didalamnya ada
seorang wanita cantik, atau wanita cantik itu melewatinya. Apabila mereka
lengah, laki-laki itu menoleh kepada wanita itu. Apabila mereka mengawasi,
laki-laki itu menahan pandangannya terhadap wanita itu. Apabila mereka lengah,
ia menoleh, apabila mereka mengawasi, ia menahan. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui hatinya yang berkeinginan, seandainya ia melihat auratnya.
(Diriwayatkan oleh Abi Hatim).
d.
Menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in.
Dalam corak tafsir bi al-ma’sur penafsiran al-Qur’an dengan menukil perkataan
tabi’in adalah cara yang paling akhir. Adapun contoh penafsiran Ibnu Kasir
dengan langkah ini misalkan firman Allah SWT.
M»¤ÿ¯»¢Á9$#ur $yÿ|¹
Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan
sebenar-benarnya.
Dalam
menjelaskan ayat ini Imam Ibnu Kasir menukil beberapa keterangan tabi’in,
seperti Qatadah. Qatadah berkata:
الملائكة صفوف في السماء
Para
Malaikat bershaff-shaff di langit.
Menafsirkan ayat dengan ro’yu sebenarnya ini
adalah cara yang tidak disenangi oleh Ibnu Kasir, namun beliau membolehkannya
asal memenuhi syarat-syarat tertentu.[2]
C.
Corak Penafsiran
-
Corak Umum
Dalam penafsiran Ibnu Katsir mengambil bentuk
al ma’tsur dan menggunakan metode analitis. Hal itu tampak dari kecenderungan
beliau untuk menjelaskan pemahaman ayat dari berbagai aspek seperti bahasa,
kosa kata, asbabunuzul ayat juga beberapa riwayat dari para sahabat yang
merupakan cirri dari al ma’tsur. Tapi yang paling penting dari penafsiran ini
adalah tidak adanya dominasi pemikiran-pemikiran tertentu, tetapi bersifat
umum. Sehingga sangatlah tepat apabila penulis menyebut penafsiran Ibnu Katsir
di atas bercorak umum.[3]
- Corak Khusus
Telah disebutkan bahwa corak khusus adalah
suatu pemikiran tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir, seperti fiqih,
filsafat, adab ijtima’i, ilmiah, teologi, sastra. Sebagai contoh: Salah satu
bentuk tafsir Alquran bercorak filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina
berkenaan ash
Shamad dalam surat al-Ikhlash ayat 2. Berkenaan
dengan ash
Shamad ini, Ibnu Sina menjelaskannya sebagai berikut:
Dari segi bahasa,
kata ash Shamad memiliki dua penafsiran. Salah satu diantaranya adalah yang
tidak mempunyai rongga (al jawf), dan
yang kedua adalah tuan (as sayyid).
Penafsiran yang pertama tidak tepat karena mengisyaratkan penafian substansi,
karena setiap yang memiliki substansi pastilah memiliki rongga dan perut (al
bathn). Padahal ada maujud yang tidak memiliki
perut. Bila Dia dianggap ada, maka Dia tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan
sesungguhnya, sesuatu yang berasal dari-Nya adalah ada dan tidak sesuai dengan
ketiadaan. Dan karena itu pula, ash shamad adalah yang haq yang mutlak harus
ada dari segala segi. Sedangkan penafsiran yang kedua, sifatnya adalah
penisbatan. Karena Dia adalah raja segala sesuatu, maka Dia juga awal bagi
segala sesuatu
Berdasarkan kenyataan itu, memang jelas bahwa
tafsir Ibnu Sina bercorak filsafat karena selain dokter beliau juga seorang
filosof, walaupun sosoknya sebagai seorang dokter lebih dikenal ketimbang
sebagai seorang filosof.
D. Sistematika Penafsiran
Sistematika
yang ditempuh Ibnu Kaṡīr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an
sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat-demi surat,
dimulai dengan surat al-fātiḥah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Maka secara
sistematika, tafsir ini menempuh Tartīb Muṣḥafī.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Kaṡīr menyajikan
sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubugan dalam
tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah
ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam Tartīb Muṣḥafī. Dengan
begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’an dalam satu tema
kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’an
serta yang penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa
keluar dari maksud nas.[4]
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman
lebih utuh yang dimiliki Ibnu Kaṡīr dalam memahami munāsabah dalam urutan ayat,
selain munāsabah antar ayat (tafsīr al-qur’ān bi al-qur’ān) yang telah diakui
kelebihannya oleh para peneliti.
E. Sistematika
Penulisan
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab tafsir yang menggunakan metode bil-
matsur yang paling terkenal setelah kitab tafsir karanga Jarir at- Tabhari.
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah :
a) Pada permulaan tafsir ini diawali dengan muqadimah yang lumayan panjang, di
dalam muqadimah ini berisikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan al-
Quran dan tafsirnya. Akan tetapi kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan
saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah yang diambil dari Muqadimah kitab beliau,
yakni kitab usul al- tafsir.
b) Ayat al- Quran ditulis lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran yang
mudah dan ringkas. Dan seringkali di dalam penafsirannya disertakan ayat lain
untuk menafsirkan ayat tadi. Dan inilah yang menjadikan tafsir beliau merupakan
kategori tafsir bil- ma’tsur.
c) Kemudian beliau ( Ibnu Katsir ) menyebutkan hadits- hadits marfu yang
berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat- pendapat para sahabat dan
para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari para sahabat dan
tabi’in, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara pendapat mereka. Melemahkan
pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang sahih serta melakukan jarh wa
ta’dil terhadap para rawi hadits tersebut.
d) Kebanyakan penafsiran dari Ibnu Katsir menukil dari tafsirnya Ibnu Jarir
al- Tabhari, tafsir Ibn Abi Hatim,
tafsirnya Ibnu A’thiyyah. Akan tetapi tafsir al-
Quran al- Karim karangan Ibnu Katsir ini berbeda dengan kitab tafsir lainnya.
Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan tentang kemunkaran
israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan kadangkala
menjelaskannya secara khusus.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-hamdulillah dengan mengalami berbagai macam cara untuk
menganilsis bagaimana seorang Ibnu Katsir dalam menafsirkan suatu ayat, kini
Inysaallah jelas sudah meskipun makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan
apalagi dilihat dari segi keilmiyahan makalah ini bisa dibilang tidak mencapai
lima puluh persen untuk mendekati perfect dari sisi
keilimiyahannya.Namun inilah yang saya bisa sajikan sedikit banyak Insyaallah
akan ada manfaatnya.
Sedangkan mengapa Ibnu Katsir menggunakan Tafsir bil-Ma’tsur, itu karena penafsiran secara bil-Ma’tsur
sendiri mampu menjaga orisinalitas wahyu, lafadz, dan makna Al-Qur’an dalam
menafsirkan suatu ayat-ayat Al-Qur’an dengan melakukan pendekatan melalui
metode tafsir “bil-Ma’tsur” hal
ini dapat kita lihat dengan adanya contoh diatas.Hal inilah yang membuat tafsir
Ibnu Katsir menjadi pedoman dan
bermanfaat bagi semua orang dan di sepanjang zaman.
Wahyu merupakan risalah Allah yang disampaikan kepada
Nabi-Nya melalui perantara malaikat Jibril, mimpi, ataupu secara langsung.Wahyu
dalam arti ini adalah makna “risalah”, bukan ilham atau insting yang dapat
diterima selain Nabi-Nabi-Nya dan makhluk lainnya.Seperti ilham kepada Ummu
Musa dan insting yang dimiliki hewan (Q.S.An-Nahl : 68).Al-Qur’an merupakan
wahyu terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks memahami wahyu itu sendiri dibutuhkan
metodologi yang memungkinkan seseoragn itu mendapatkan pengertian yang benar
dalam memahami setiap ayatnya. Maka sebagai penerang makna Al-Qur’an itu
dibutuhkan ilmu tafsir sekaligus cara penafsirannya terkait dengan paradigma
bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara lafadz dan makna
sekaligus.Metodologi yang benar dapat memberikan pemahaman yang benar pula,
demikian pula sebaliknya metodologi yang salah dapat menimbulkan pemahaman yang
sangat fatal dalam memahami firman Allah yang mulia.
Itulah sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir
menafsirkan wahyu Allah serta dilengkapi dengan sekilas tentang biografi
beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga menetapkan syarat dan adab yang mendukung
otoritas metodologi penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan
oleh kualitas pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi
keulamaannya, khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam
lagi keilmuan tafsirnya.
[1]
. Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat
atau menambah dan mengurangi.
Maksudnya
mereka mengatakan : Kami mendengar, sedang hati mereka mengatakan: Kami tidak
mau menuruti.
Maksudnya
mereka mengatakan: dengarlah, tetapi hati mereka mengatakan: Mudah-mudahan kamu
tidak dapat mendengarkan (tuli).
Raa 'ina
berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala Para sahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini
dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina Padahal yang mereka katakan ialah
Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah.
Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya
sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama
artinya dengan Raa'ina.
[2]
. Yang dimaksud dengan rombongan yang
bershaf-shaf ialah Para Malaikat atau
makhluk lain seperti burung-burung.
[4] . Syaikh
mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta;
hal. 348
[5] .prof.Dr,
Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta: Pt, Raja Grafindo
Persada, Hal.60.