Sejarah

  Samudera Pasai
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas, sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa di pertanggung jawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.
Baru pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu sendiri. Menjelang abad ke -13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari peroses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke 7-8 M, dan seterusnya.[1]Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan yang terbuat dari granit asal Samudera Pasai.
            Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Malik al-Saleh, raja pertama, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal ini diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Seriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting dikawasan Sumatera dan sekitarnya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan[2] gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi Raja adalah (Merah Sile atau Merah Selu). Ia masuk islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut.
            Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata Sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Karena kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
            Dari Hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusanga, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar disepanjan jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapa mengayuhka dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai peusangan itu, yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera teretak agak lebih kepedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Ditempat yang terakhir inilah terletak makam raja-raja.
            Pendapat bahwa Islam sudah berkembang disana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan pendapat Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M. (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Malik al-Zahir, putra Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman.
            Menurut Ibnu Batutah, Islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan disana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati,dan semangat keagamaan Rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi'i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat study agama Islam dan tempat berkumpulnya Ulama-ulama dari berbagai Negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan ini tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan perlayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan perlayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari barat dikenakan pajak 6%. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan satu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah Raja-raja Samudera Pasai pada abad ke- 14 M dan 15 M.[3]
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama Raja dan urut-urutannya, sebagai berikut:
1. Sultan Malik al-Saleh memerintah sampai tahun 1207 M.
2. Muhammad Malik al- Zahir (1297-1326 M).
3. Mamud Malik  al-Zahir (1326-1345 M).
4. Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M).
5. Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M).
6. Zain al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M).
7. Nahrasiyah (1402-…..?).
8. Abu Zaid Malik al-Zahir(?....-1455 M).
9. Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M).
10.  Zain al-Abidin (1477-1500 M).
11.  Abdul Malik al-Zahir (1501-1513 M).
12.  Zain al-Abidin (1513-1524 M) dan ini adalah Sultan yang terakhir.
                        Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh Raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada dibawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[4]
  •   Pola Samudera Pasai            
  •  Lahirnya kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari Negara yang segmenter ke Negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya, Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu Negara baru. Kerajaan ini bukan saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan.
            Dalam peroses perkembagannya untuk menjadi Negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut, Samudera Pasai memiliki " kebebasan budaya " untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tentang dirinya. Pola yang sama dapat juga disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.

  • Aceh Darussalam
            Menjelang abad ke-13 M, di pesisir Aceh sudah ada pemukiman Muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, diperkirakan , peroses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian dapat dipahami mengapa kerajaan Islam pertama di kepulauan Nusantara ini berdirinya di Aceh, yaitu seperti kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada pertengahan abad ke-13 M.
            Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke -15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat sekali berkembang, bahkan dapat mengambi alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari Samudera Pasai yang kalah bersaing, lajunya perkembangan masyarakat Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya.
            Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya, jadi kapan sebetulnya kerajaan ini berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah pada tahun (1465-1497 M). dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
            Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalm mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang  sebelumnya berdagang di Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus Kemalaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para Saudagar dari berbagai Negeri.
Menurut H.J. De Graff, Aceh menerima Islam dari pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian Agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan  dari dua perasaan kecil, yaitu Lamurai dan Aceh Dar al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
            Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan portugis. Kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengrim Panglima-Panglimanya, salah seorang di antaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan Sultan-sultan Deli dan Serdang.
            Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahhar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam.
            Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 ). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minang Kabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang dating, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan Iskandar kemudian bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Tidak seperti Iskandar Muda yang memerintah dengan tangan besi, pengantinya Iskandar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetapi, kematiannya diikuti oleh masa-masa bencana. Tatkala beberapa sultan Perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke-18 M, kesultanan Aceh hanya merupakan bayangan belaka dari masa silamnya, tanpa kepemipinan dan kacau balau.[5]

B.  

[1]. Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),  hlm. 3.
[2] Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, "Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh". (PT Almaarif,1989), hlm. 420.
[3]. Badri Yatim, SEjarah Peradaban Islam, )Jakarta: Rajawali Press, 2010). Hlm.208.
[4] . Ibid,  hlm. 208.
[5] . Batri Yatim, Sejarah Paradaban Islam. Op. cit, hlm, 210.
[6]. Mohamad Burhanudin. Kompas Cetak. com | Senin, 11 April  2011 | 12:42 WIB




MANDAILING DALAM LINTASAN SEJARAH

Sepanjang yang dapat diketahui sampai sekarang, belum ada seseorang yang menulis dan menerbitkan sejarah Mandailing. Oleh karena itu kita tidak dapat memperoleh refensi untuk membicarakan sejarah Madailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing memang mempuyai aksara sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak.
Tetapi ternayata orang-orang Mandailing pada zaman dahulu tidak menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan sejarah. Pada umumnya yang dituliskan adalah mengenai ilmu pengobatan tradisional, astronomi tradisional, ilmu ghaib, andung-andung dan tarombo atau silsilah keturunan keluarga-keluarga tertentu. Setalah sekolah berkembang di Mandailing, Surat Tulak-Tulak mulai dipergunakan oleh guru-guru untuk menuliskan cerita-cerita rakyat Mandailing sebagai bacaan murid-murid sekolah.
       Beberapa legenda yang mengandungi unsur sejarah dan berkaitan dengan asal-usul marga orang Mandailing masih hidup di tengah masyarakat Mandailing. Seperti legenda Namora Pande Bosi dan legenda Si Baroar yang dtulis oleh Willem Iskandar pada abad ke-18. Tetapi legenda yang demikian itu tidak memberi keterangan yang cukup berarti mengenai sejarah Mandailing. Dalam bebrapa catatan sejarah seperti sejarah Perang Paderi yang disusun oleh M. Radjab, disebut-sebut mengenai Mandailing dan keterlibatan orang Mandailing dalam Perang Paderi. Catatan sejarah ini hanya berhubungan dengan masyarakat Mandailing pada abad ke-18 dan awal masuknya orang Belanda ke Mandailing. Bagaimana sejarh atau keadaan masyarakat Mandailing pada abad-abad sebelumnya tidak terdapat tulisan yang mencatatnya.
  • Kitab Negarakertagama
      Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365. kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9). Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan dimana kitab ini tidak diketahui. Baru pada tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada tanggal & Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Kabupaten Lombok, Pulau Bali.
Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing kecuali sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskan nama Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 telah diakui keberadaannya sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit.. pengertian negara bawahan dalam hal ini tidak jelas artinya karena tidak ada keterangan berikutnya.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Negri Mandailing sudah ada sebelum abad ke-14. Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada. Kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena nama Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad ke-5 atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada abad ke-6. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8.
      Apakah pada abad ke-14 Mandailing merupakan satu kerajaan tidak diketahui. Karena dalam Kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut sebagai kerajaan tetapi sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tetapi dengan disebutkan negeri Mandailing sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu Mandailing merupakan satu kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing sebelum abad ke-14 tidak ada sama sekali kecuali keberadaaan Candi Siwa di Simangambat. Namun demikian, berdasarkan berbagai peninggalan dari zaman pra sejarah dan peninggalan dari zaman Hindu/Buddha yang terdapat di Mandailing kita dapat mengemukakan keterangan yang bersifat hipotesis.

  • HIPOTESIS TENTANG KERAJAAN MANDALA HOLING
      Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa di Simangambat terdapat reruntuhan Candi Siwa (Hindu) dari abad ke-8. Candi tersebut jauh lebih tua dari candi-candi di Portibi (Padang Lawas) yang menurut perkiraan para pakar dibangun pada abad ke-11. Dengan adanya candi ini bisa menimbulkan pertanyaan mengapa dan kapan ummat Hindu yang selanjutnya saya sebut orang Hindu dari India datang ke Mandailing yang terletak di Sumatera yang mereka namakan Swarna Dwipa (Pulau Emas.
Besar kemungkinan orang Hindu datang ke Mandailing yang terletak di Swarna Dwipa adlah untuk mencari emas. Dalam sejarah Inida, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa sekitar abad pertama Masehi pasokan emas ke India yang didatangi dar Asia Tengan terhenti. Karena di Asia Tengan terjadi berbagai peperangan. Oleh karena itu kerajaan-kerajaan yang terdapat di India berusaha mendapatkan emas dari tempat lain yaitu dari Sumatera/Swarna Dwipa.
Dalam hubungan ini kita mengerti bahwa di wilayah Mandailing yang pada masa lalu hingga kini di dalamnya termasuk kawasan Pasaman terdapat banyak emas. Bukti-bukti mengenai hal ini banyak sekali. Jadi besar sekali kemungkinan bahwa tempat yang dituju oleh orang Hindu dari India untuk mencari emas di Swarna Dwipa adalah daerah Mandailing. Pada masa daerah ini belum bernama Mandailing. Entah apa namanya kita tidak mengetahui.
        Orang Hindu yang datang ke wilayah Mandailing adalah yang berasal dari negeri atau Kerajaan Kalingga di India. Oleh karena itu mereka disebut orang Holing atau orang Koling. Ada kemungkinan mereka masuk darri daerah Singkuang. Karena Singkuang yang merupakan tempat bermuaranya Sungai Batang Gadis cukup terkenal sebagai pelabuhan. Itulah sebabnya tempat tersebut dinamakan Singkuan oleh pedagang Cina yang berarti harapan bar. Karena melalui pelabuhan ini mereka biasa memperoleh berbagai barang dagangan yang penting yang berasal dari Sumatera seperti damar, gitan, gading dsb.
           Menurut dugaan setelah orang Holing/Koling tiba di Singkuang, selanjutnya mereka menyusuri Sungai Batang Gadis ke arah hulunya. Dengan demikian maka akhirnya mereka sampai di satu dataran rendah yang subur yaitu di kawasan Mandailing Godang yang sekarang. Sejak zaman pra sejarah di kawasan tersebut dan di berbagai tempat di Mandailing sudah terdapat penduduk pribumi. Hal ini dibuktikan oleh adanya peninggalan dari zaman pra sejarah berupa lumpang-lumpang batu besar di tengah hutan di sekitar Desa Runding di seberang Sungai Batang Gadis dan bukti-bukti lainnya di berbagai tempat.
Pada waktu orang Holing/Koling sampai di kawasan Mandailing Godang (waktu itu kita tidak tahu nama kawasan ini) maka mereka bertemu dengan penduduk pribumi setempat. Penamaan orang Holing/Koling digunakan untuk menyebutkan orang Hindu yang berasal dari Negeri Kalingga tersebut dibuat oleh penduduk pribumi. Setibanya di wilayah Mandailing, orang-orang Holing/Koling tersebut menemukan apa yang mereka cari yaitu emas.
         Kita mengetahui melalui sejarah bahwa emas tercatat sebagai salah satu modal utama dalam berdirinya kerajaan-kerajaan besar dan emas juga merupakan sumber kemakmuran. Setelah orang-orang Hindu menemukan banyak emas di kawasan Mandailing yang sekarang ini, mereka kemudian menetap di kawasan tersebut. Karena orang-orang Holing/Koling menetap di kawasan itu maka dinamakan Mandala Holing/Koling. Mandala artinya lingkungan atau kawasan. Mandala Holing/Koling berarti lingkungan atau kawasan tempat tinggal orang-orang Holing/Koling. Sampai sekarang kita sering mendengar disebut-sebut adanya Banua Holing/Koling. Tetapi orang-orang tidak mengetahui dimana tempat yang dinamakan Banua Holing/Koling itu.
Berdasarkan hipotesis ini kita dapat mengatakan bahwa yang disebut Banua Holing/Koling itu adalah wilayah Mandailing yang dahulu ditempati oleh orang-orang Holing/Koling. Dengan kata lain Banua Holing/Koling adalah Mandala Holing/Koling.
           Berabad-abad kemudian Mandalan Holing/Koling dikenal sebagai Kerajaan Holing. Dalam hubungan ini Slamet Mulyana (1979:59) mengemukakan bahwa hubungan dagang dan diplomat antara Cina dan Jawa berlangsung mulai dari berdirinya Kerajaan Holing pada permulaan abad ke-7 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan abad ke-16. Sejalan dengan keterangan Slamer Mulyana ini kita dapat melihat hubungan antara Kerajaan Holing dengan adanya Candi Siwa Di Simangambat yang dibangunkan pada abad ke-8. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukan bahwa dari berbagai catatan sejarah disebut-sebut adanya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Holing.
Tetapi sampai sekarang para sejarah belum menentukan dimana sebenarnya lokasinya yang pasti. Ada pakar sejarah yang menduga bahwa Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Timur tetapi Kerajaan Holing yang disebut-sebut dalam catatan Cina tidak diketahui lokasinya yang pasti. Dan dapat pula dipertanyakan apakah Kerajaan Kalingga adalah yang disebut juga sebagai Kerajaan Holing.
         Dengan argumentasi yang telah dikemukan di atas, kita mengajukan dugaan (hipotesis) bahwa yang disebut Kerajaan Holing itu dahulu terletak di wilayah Mandailing yang juga disebut sebagai Kerajaan Mandala Holing/Koling. Kiranya cukup beralasan untuk menduga bahwa nama Mandahiling (Mandailing) yang disebut oleh Mpu Prapanca dalam Kitan Negarakertagama pada abad ke-14 berasal dari nama Mandalaholing yang kemudian mengalami perubahan penyebutan menjadi Mandahiling dan akhirnya kini menjadi Mandailing. Untuk membuktikan kebenaran dugaan atau hipotesis ini tentu masih perlu dilakukan penelitian. Dan ini merupakan tantangan bagi orang Mandailing yang berkedudukan sebagai pakar sejarah.
Diperkiranya orang-orang Hindu menetap di Kerajaan Mandalaholing (Kerajaan Holing/ Banua Holing) yang kaya dengan emas berabad-abad lamanya. Yaitu sejak mereka datang pertama kali pada abad-abad pertama Masehi. Sampai abad ke-13 orang-orang Hindu masih ada yang menetap di Mandailing yang sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya cukup banyak peninggalan Hindu/Buddha di wilayah Mandailing.
         Salah satu diantaranya adalah tiang batu di Gunung Sorik Merapi yang bertarikh abad ke-13 di kawasan Mandailing Godang (Pidoli) terdapat lokasi persawahan yang bernama Saba Biara. Yang disebut biara atau vihara adalah tempat orang-orang Hindu-Buddha melakukan kegiatan keagamaan. Pada waktu saya berkunjung ke tempat yang bernama Saba Biara itu beberapa tahun yang lalu, pada jalan masuk ke lokasi tersebut saya melihat di 5 (Lima) tempat adanya batu bata yang tersusun dalam lubang tanah yang dalamnya kurang lebih 2 (Dua) meter. Kemungkinan sekali batu bata yang tersusun itu adalah reruntuhan candi dari zaman dahulu. Susunan batu bata tersebut ada yang terletak pada gundukan tanah. Ketika orang-orang yang pulang dari sawah saya tanyakan apakan susunan batu bata seperti yang berada pada gundukan tanah itu ada terdapat di tengah persawahan, mereka mengatakan bahwa semua pulau-pulau (gundukan tanah) yang banyak terdapat di tengah persawahan adalah tumpukan atau susunan batu bata di bawahnya.
           Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa di lokasi yang bernama Saba Biara di Pidoli adalah reruntuhan puluhan candi peninggalan kerajaan Hindu/Buddha (Kerajaan Mandalaholing). Untuk membuktikannya perlu dilakukan eskavasi (penggalian) Menurut dugaan Kerajaan Mandalaholing yang dahulu pernah terdapat di Mandailing yang sekarang meluas sampai ke kawasan Pasaman (yang dahulu merupakan bagian dari Mandailing).
        Menurut keterangan yang pernah saya peroleh di Pasaman, batas antara wilayah Mandailing dan wilayah Minangkabau terletak di Si Pisang lewat Palupuh. Sekarang batas antara Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Di kawasan Pasaman, yaitu di tempat yang bernama Tanjung Medan dekat Rao terdapat juga candi yang mirip keadaannya dengan candi di Portibi. Dan kita tahu bahwa di kawasan Pasaman juga terdapat emas yang dibutuhkan oleh orang-orang Hindu. Kalau tidak salah di kawasan yang bernama Manggani. Dan di kawasan itu juga terdapat tambang emas Belanda pada masa penjajahan.
  • PERUH HINDU TERHADAP PRIBUMI MANDAILING
         Pada uraian yang di atas sudah dikemukan mengenai peninggalan-peninggalan dari zaman pra sejarah yang ditemukan di beberapa tempat di Mandailing. Peninggalan-peninggalan ini membuktikan bahwa sudah ada manusia yang mendiami wilayah Mandailing pada masa tersebut. Sebagai pribumi Mandailing, mereka terus berkembang smapai orang-orang Hindu datang dan menetap di Mandailing.
Besar kemungkinan antara penduduk pribumi hidp berdampingan secara damai dengan orang-orang Hindu yang menetap dan kemudian membangun kerajaan di wilayah Mandailing. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun banyak ditemukan peninggalan dari zaman Hindu di wilayah Mandailing, tapi ditemukan juga peninggalan kebudayaan pribumi Mandailing yang berkembang sendiri tanpa didominasi oleh pengaruh Hindu. Misalnya, patung-patung batu seperti yang terdapat di halaman Bagas Godang Panyabungan Tonga-Tonga dan patung-patung kayu yang terdapat di Hua Godang. Demikian juga ornamen-ornamen tradisional yang terdapat pada Bagas Godang dan Sopo Godang yang hanya sedikit sekali memperlihatkan pengaruh Hindu. Yakni pada ornamen berbentuk segitiga yang disebut bindu (pusuk robung) yang merupakan lambang dari Dalian Na Tolu.
        Dalam kebudayaan Hindu, Bindu (bentuk segitiga) merupakan lambang mistik hubungan manusia dengan dewa trimurti. Bagian-bagian lain dari ornamen tradisional tidak memperlihatkan adanya pengaruh Hindu. Dari bentuknya, ornamen-ornamen yang ada sampai sekarang ini hanya menggunakan garis-garis geometris (garis lurus), kecuali ornamen benda alam, buatan dan hewan seperti matahari, bulan, bintang, pedang, ular dll. Bentuk ornamen yang hanya menggunakan garis-garis geometris ini membuktikan ornamen tersebut berasal dari zaman yang sudah lama sekali (primitif.
           Pengaruh Hindu juga terdapat pada budaya tradisional Mandailing, antara lain pada penamaan desa na ualu (mata angin)dan pada gelar kebangsawanan seperti Mangaraja, Soripada, Batara Guru serta nama gunung seperti Dolok Malea. Keaneragaman bahasa Mandailing yang terdiri dari hata somal, hata sibaso, hata parkapur, hata teas dohot jampolak dan hata andung yang kosa katanya masing-masing berlainan menunjukkan budaya pribumi Mandailing sudah lama berkembang yang tentunya dihasilkan dari peradaban yang sudah tinggi yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun orang Hindu lama menetap dan mengembangkan budayanya tetapi pribumi Mandailing tidak didominasi oleh orang-orang Hindu danbebas mengembangkan budayanya sendiri.
     Adanya dua masyarakat, yaitu pribumi Mandailing dan orang Hindu yang masing-masing mengembangkan budayanya pada masa yang lalu di lingkuangan alam yang subur dan kaua dengan emas diduga kemungkinan besar Mandailing merupakan pusat peradaban di Sumatera pada masa awal abad-abad Masehi. Salah satu bukti mengenai hal ini adalah adanya ragam bahasa yang sudah disebutkan di atas dan adanya aksara yang dinamakan Surat Tulak-Tulak yang kemudian berkembang ke arah utara mulai dari Toba, Simalungun sampai Karo dan Pakpak. Penelitian para pakar sudah membuktikan bahwa aksara Mandailing (Surat Tulak-Tulak). Bahasa yang halus dan aksara yang dimiliki oleh sesuatu bangsa menunjukkan bahwa bangsa tersebut sudah mempunyai peradaban yang tinggi.
        Ada permasalahan yang sampai sekarang belum terpecahkan, yaitu kapan orang Hindu lenyap dari wilayah Mandailing dan apa yang menyebabkan mereka hilang dari Mandailing. Setelah orang Hindu lenyap dari Mandailing, pribumi Mandailing terus mengembangkan kebudayaannya. Budaya Mandailing berkembang tanpa memperlihatkan pengaruh budaya Hindu yang esensial. Dalam kebudayaan Hindu salah satu esensial adalah konsep bahwa raja adalah wakil dewa di bumi yang mendasari feodalisme dalam pelaksanaan pemerintahan kerajaan. Masyarakat Mandailing tidak menganut konsep yang demikian itu dan pemerintahan yang demokratis yang dijalankan bersama-sama oleh Namora Natoras dan Raja.
       Hal ini dilambangkan oleh bangunan Sopo Godang sebagai balai sidang adat (pemerintahan) yang sengaja dibuat tidak berdinding agar rakyat dapat secara langsung melihat dan mendengar segala hal yang dibicarakan oleh para pemimpin mereka. Semuanya berlangsung secara transparan yang langsung disaksikan sendiri oleh rakyat. Setelah Belanda menjajah Mandailing, keadaan yang demikian itu mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya muncul hal-hal yang feodalistis. Karena untuk memperkuat kedudukannya di Mandailing, Belanda berusaha mengembangkan hal-hal yang feodalistis untuk dapat menguasai rakyat Mandailing yang demokratis. Sifat rakyat Mandailing yang demokratis itu pada akhirnya mendorong munculnya pergerakan nasional di Mandailing sebagai pelopor pergerakan di Sumatera Utara.
  • MANDAILING DAN PERANG PADERI
        Pada tanggal 13 agustus 1814, Inggris dan Belanda melakukan perjanjian yang isinya menyatakan bahwa jajahan Belanda di Kepulauan Nusantara yang telah diambil Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Dengan dijalankan perjanjian itu pada tahun 1816, maka Belanda kembali berkuasa di Padang. Pada masa itu peperangan amtara kaum Paderi dan kaum adat di Minangkabau sudah berlangsung beberapa tahun lamanya. Untuk menghadapai kekuatan kaum Paderi, pimpinan kaum adat meminta bantuan kepada Belanda. Dengan demikian maka terlibatlah Belanda dalam perang Paderi.
Gerakan kaum Paderi sudah mulai meluas ke wilayah Mandailing. Salah satu alasan kamu Paderi memasuki Mandailing adalah untuk melakukan pengislaman terhadap penduduknya yang masih menganut animisme yang dinamakan sipele begu (memuja roh). Beberapa catatan mengatakan bahwa pada waktu kaum Paderi memasuki Mandailing. Beberapa orang raja di Mandailing dan sejumlah penduduk sudah mulai menganut agama Islam.
        Kapan orang-orang Mandailing mulai menganut agama Islam untuk pertama kalinya belum diperoleh keterangan yang didukung oleh bukti-bukti sejarah yang otentik. Tetapi setelah kaum Paderi menguasai Mandailing, mereka melakukan pengislaman terhadap semua penduduk dan penduduk yang sudah menganut agama Islam dengan sendirinya memihak kepada kaum Paderi. Ada catatan yang mengatakan menjelang masuknya kaum Paderi ke Mandailing sudah ada orang-orang Mandailing yang pergi dan belajar agama Islam di Bonjol yang merupakan salah satu pusat kedudukan kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
       Pada waktu kaum Paderi sudah menguasai Mandailing, mereka menempatkan tokoh-tokoh pemuka agama Islam untuk mendampingi raja-raja Mandailing dalam menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh pemuka agama Islam tersebut dinamakan kadi. Pada waktu kesatuan wilayah kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing yang dinamakan janjian dijadikan oleh kaum Paderi sebagai kesatuan wilayah keagamaan yang disebut kariah. Dan di setiap kariah didudukkan oleh kaum Paderi seorang kadi untuk mendampingi raja dalam menyelenggara pemerintahan dan urusan agama Islam.
           Setelah Belanda menbantu kaum adat menghadapi kaum Paderi, maka lama kelamaan boleh dikatakan perang Paderi berubah keadaannya dari perang antara kaum adat dan kaum Paderi menjadi perang antara Belanda dan kaum Paderi. Dalam keadaan yang demikian itu pihak Belanda bukan lagi hanya membantu kaum adat dan memerangi kaum Paderi, tetapi Belanda mulai menggunakan kekuataannya untuk meluaskan lagi penjajahannya dari wilayah Minangkabau ke wilayah lain di sebelah utara termasuk ke Mandailing. Pada waktu perang Paderi makin meluas ke arah utara (ke arah Rao) yang berbatasan dengan wilayah Mandailing, niat Belanda untuk menaklukkan berbagai wilayah di bagian utara itu makin nyata. Dan ketika serdadu Belanda sampai di Sundatar yang terletak di sebelah selatan Rao, mereka sengaja menyiarkan kabar ke arah utara yaitu di kawasan Rao dan wilayah Mandailing jika rakyat di tempat tersebut tidak mau takluk kepada Belanda yang kuat persenjataannya mereka akan digempur dengan kekerasan (Radjab, 1964:163)
         Sekitar tahun 1832, pada waktu pimpinan tentara Belanda Kolonel Elout dan Letnan Engelbert berad di Rao, Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandailing datang menghadap mereka dengan maksud akan menawarkan bantuannya kepada tentara Belanda dalam perang membasmi kaum Paderi. Raja Gadombang sebenarnya dengan membantu tentara Belanda itu hendak membalaskan dendamnya dan dendam rakyat Mandailing yang telah bertahun-tahun diperintah, dianiaya dan dipelakukan sewenang-wenangnya oleh kaum Paderi (Radjab 1964: 166).
          Pada tahun 1833, sewaktu tentara Belanda dikepung pasukan kaum Paderi dalam Benteng Amorengen di Rao, Raja Gadombang yang sudah diangkat oleh Belanda sebagai Regen Mandailing dengan ratusan pasukannya datang membantu Belanda. Ketika Benteng Amorengen hampir jatuh ke tangan kaum Paderi datang pula bantuan pasukan Belanda dari Natal dibantu oleh 500 orang Batak yang kemudian bergabung dengan pasukan Raja Gadombang dan mereka bersama-sama menggempur pasukan kaum Paderi. Senadainya tidak datang bantuan tersebut pada tanggal 21 Januari 1833, keesokan harinya pasti semua tentara Belanda di Rao akan musnah sama sekali. Sebab mereka sudah lemah karena lama tak makan dan pelurunya hampir habis (Radjab, 1964: 187).
          Setelah kaum Paderi tidak ada lagi di sekitar Rao pada tanggal 22 Januari 1833, 3 (tiga) orang opsir Belanda mengadakan rapat yang dihadiri oleh Tuanku Natal yang pro Belanda, Regen Mandailing Raja Gadombang dan beberapa orang hulubalang Batak (Radjab, 1964: 188). Selain dari Raja Gadombang, Sutan Malayu raja dari Pakantan dan Patuan Gogar Tengah Hari raja dari Muarasipongi ikut juga membantu Belanda.
       Pada bulan September 1833 ketika pasukan Belanda dari Rao melakukan serangan terhadap kaum Paderi di Bonjol di bawah pimpinan Mayor Eilers, pasukan Raja Gadombang dan Sutan Malayu ikut membantu. Dalam satu pertempuran di Lundar dekat Lubuk Sikaping ketika pasukan Raja Gadombang dan pasukan Sutan Malayu dalam perjalanan ke Bonjol, Raja Gadombang mengalami luka dan Sutan Malayu tewas dalam pertempuran tersebut (Radjab, 1964:261). Akhirnya serangan pasukan Belanda ke Bonjol yang dibantu oleh pasukan Raja Gadombang dan Sutan Malayu terpaksa mundur kembali ke Rao karena tak sanggup menghadapi kaum Paderi.
      Pada bulan Oktober 1833, pasukan Belanda yang berada di Benteng Amorengen dikabarkan akan diserang oleh kaum Paderi dan rakyat Rao termasuk diantaranya yang dipimpin Tuanku Tambusai yang berada di sekitar tempat tesebut. Pada tanggal 20 Oktober 1833, rakyat dari Desa Padang Matinggi dekat Rao datang beramai-ramai menuju Benteng Amorengen dan mereka menembaki benteng tersebut. Kemudian datang pulak rakyat dari Desa Tarung-Tarung untuk membantu penyerangan ke Benteng Amorengen. Tangsi-tangsi pasukan Mandailing yang berada di sekitar Amorengen terus ditembaki oleh penduduk Rao.
          Keesokan harinya Raja Gadombang dan Datuk Gagah Tengah Hari datang bersama 800 orang pasukan Mandailing. Mereka memasuki tangsi-tangsi yang berada di sekitar Benteng Amorengen. Dalam keadaan yang demikian itu, rakyat Rao terus berusaha untuk mengepung Benteng Amorengen dan membuat kubu-kubu pertahanan di sekitar benteng tersebut. Melihat keadaan yang demikian itu, pasukan Belanda sebahagian keluar dari benteng dengan dibantu oleh pasukan Raja Gadombang dan Datuk Gagah Tengah Hari menyerang pasukan Paderi yang berada di luar Benteng Amorengen. Pada waktu itu, pasukan Paderi sedang melakukan sembahyang zhuhur. Dan pada saat itulah pasukan Belanda menyerang mereka dari belakang sehingga banyak pasukan Paderi yang tewas.
       Sepanjang bulan Oktober sampai bulan November 1833, pasukan Paderi terus memperkuatkan kepungan mereka terhadap pasukan Belanda yang berada di Benteng Amorengen. Oleh karena itu pasukan Belanda mulai kekurangan bahan makanan. Pada tanggal 18 November, serdadu Belanda keluar dari benteng untuk menyerang pasukan Paderi yang menghalangi jalan yang dapat menghubungkan pasukan Belanda di Benteng Amorengen Rao dengan Huta Godang di Mandailing. Pasukan Paderi mereka sergap ketika sedang tidur. Namun demikian lama kelamaan pengepungan pasukan terhadap Benteng Amorengen semakin diperkuatkan sehingga keadaan pasukan Belanda yang berada di dalam benteng tersebut semakin sulit. Dalam keadaan yang demikian itu pemimpin pasukan Belanda mencoba berunding dengan kaum Paderi. Tetapi kaum Paderi menolaknya karena mereka dan rakyat Rao sudah mengambil keputusan untuk mengusir Belanda dari Rao dengan menghancurkan Benteng Amorengen. Kaum Paderi hanya mau berunding kalau pasukan Belanda bersedia meninggalkan Rao dan pergi ke pinggir pantai. Pasukan Belanda mencari jalan untuk meninggalkan Benteng Amorengen karena tahu tidak akan sanggup lagi menghadapi serangan kaum Paderi yang semakin banyak jumlahnya mengepung terus Benteng Amorengen. Berulang kali pasukan Belanda keluar benteng untuk menyerang pertahanan pasukan Paderi yang menghalangi jalan ke Mandailing. Dan sejak tanggal 24 November 1843, terjadi serang menyerang antara pasukan Belanda dan kaum Paderi yang silih berganti. Karena tidak sanggup lagi menghadapi kekuatan kaum Paderi akhirnya pimpinan pasukan Belanda memutuskan untuk meninggalkan perbentengan mereka di Rao dan memasuki daerah Mandailing untuk mencari tempat yang aman. Untuk itu pimpinan pasukan Belanda Mayor Eilers mengutus seorang tawanan menemui pimpinan pasukan Paderi untuk berunding agar pasukan Belanda diperbolehkan meninggalkan Rao. Akhirnya pimpinan pasukan Paderi memperkenankan permintaan pihak Belanda tersebut. Pasukan Belanda dan pasukan Raja Gadombang meninggalkan Rao menuju Mandailing pada tanggal 28 November 1883. setelah pasukan Belanda meninggalkan Benteng Amorengen kaum Paderi menghancurkan benteng tersebut. Pada hari itu juga pasukan Belanda tiba di Limau Manis sebuah desa di kawasan Muarasipongi.
  • PASUKAN BELANDA MEMASUKI MANDAILING
        Pada tanggal 29 November 1833, pasukan Belanda yang melarikan diri dari Rao meninggalkan Limau Manis menuju Desa Tamiang. Pasukan Belanda tiba di Desa Tamiang pada tanggal 02 Desember 1833 dan mereka bertangsi di sebuah mesjid (Radjab, 1964: 297). Selanjutnya pasukan Belanda membangun perbentengan di Singengu untuk menangkis serangan pasukan Paderi kalau mereka datang menyerang dari Rao. Kemudian pasukan Belanda membuat pula benteng pertahanan di Kotanopan yang tidak jauh letaknya dari Singengu. Demikianlah Belanda pertama kali menjejakkan kakinya di Mandailing setelah melarikan diri dari pengepungan pasukan Paderi di Rao. Lima bulan kemudian tepatnya bulan Mei 1834, Tuanku Tambusai dan pasukannya dengan dibantu oleh penduduk Rao datang menyerang dan mengepung pasukan Belanda di perbentengan mereka di Singengu dan Kotanopan. Tapi karena pasukan Belanda mendapat bantuan 200 orang serdadu dari Padang akhirnya pasukan Paderi itu meninggalkan Kotanopan.
      Pada tahun 1835, seorang kontelir Belanda yang pertama mulai ditempatkan di Mandailing, yaitu Kontelir Bonnet. Pada tanggal 19 April 1835, Kontelir Bonnet mendapat perintah rahasia dari residen Belanda di Padang untuk mengirimkan bantuan kepada pasukan Letnan Beethoven yang ditugaskan untuk menyerang Rao. Kontelir Bonnet menyiapkan 1100 orang Mandailing yang dipersenjatai dan diberangkatkan menuju Rao pada tanggal 26 April 1835. Beberapa waktu kemudian pasukan Belanda mulai berada kembali di Rao dan berulang-ulang kali terjadi pertempuran antara mereka dengan kaum Paderi. Dan Raja Gadombang dengan pasukannya masih terus bekerja sama dengan pasukan Belanda untuk memerangi pasukan Paderi.
        Pada bulan Oktober 1835 pada waktu Raja Gadombang sedang dalam perjalanan dari Lundar ke Sundatar bersama anak buahnya, mereka dihadang oleh pasukan Paderi. Seorang pasukan Paderi berhasil menembak perut Raja Gadombang dan beliau meninggal dunia keesokan harinya. Empat tahun kemudian (1839) setelah Raja Gadombang meninggal dunia dan dimakamkan di Huta Godang, adik beliau yang bernama Sutan Mangkutur memimpin perlawanan terhadap Belanda yang mulai menguasai Mandailing. Kurang lebih satu tahun setelah Sutan Mangkutur dan pasukannya memerangi Belanda di Mandailing, dengan tipu muslihat yang dibantu oleh orang yang menghianatinua maka Sutan Mangkutur berhasil ditangkap oleh Belanda di Huta Godang. Beberapa orang raja di Mandailing Julu yang bersimpati kepada Sutan Mangkutur dipaksa Belanda untuk membayar denda berupa emas setelah Sutan Mangkutur berhasil mereka tawan. Kemudian Sutan Mangkutur bersama tiga orang kahangginya dibuang oleh Belanda ke Pulau Jawa. Sampai sekarang tidak diketahui dimana letak makam Sutan Mangkutur dengan dua orang saudaranya tersbut. Satu orang diantaranya Raja Mangatas sempat kembali ke Huta Godang dari Jawa Barat. Tetapi beliau tidak mengetahui dimana makam Sutan Mangkutur dan dua orang saudaranya yang lain.
  • WILLEM ISKANDAR MENCERDASKAN BANGSANYA
        Dalam perjalanan sejarah etnis Mandailing sepanjang abad ke-18 tokoh Willem Iskandar wajib dicatat. Karena jasanya sangat besar bagi etnis Mandailing dalam usaha untuk mencerdaskan bangsanya. Dan juga Willem Iskandar berjasa besar untuk mempelopori perkembangan pendidikan modern di Sumatera bagian Utara. Willem Iskandar adalah putera Mangaraja Tinating marga Nasution dan si Anggur boru Lubis. Ia lahir pada tahun 1840 di Pidoli Lombang. Pada masa kecilnya ia bernama si Sati dan kemudian bergelar Sutan Sikondar.
        Pada tahun 1857 dalam usia 17 tahun, si Sati dibawa oleh Asisten Reiden Godon ke Negeri Belanda untuk belajar di sekolah guru. Setelah mendapat ijazah guru di Negeri Belanda, si Sati yang diberi gelar Willem Iskandar ketika berada di Negeri Belanda kembali ke Indonesia dan tiba di Batavia pada bulan Desember 1861. Kemudian ia kembali ke Mandailing dan dalam usia 22 tahun, yaitu pada tahun 1862 Willem Iskandar mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Desa Tano Bato yang tidak jauh letaknya dari desa tempat kelahirannya. Selama kurang dari 12 tahun (1862-1874), Willem Iskandar memimpin sekolah tersebut dan sekaligus menjadi gurunya. Pada tahun 1874 Willem Iskandar pergi untuk kedua kalinya ke Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan guru. Selam dipimpin oleh Willem Iskandar, Sekolah Tano Bato pernah dijadikan pemerintah Belanda sebagai contoh untuk sekolah-sekolah guru di Indonesia. Murid-murid yang telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tano Bato kemudian diangkat menjadi guru di berbagai sekolah yang dibangun Belanda di Mandailing dan Angkola. Dan murid-murid mereka banyak yang menjadi guru di kemudian hari di berbagai tempat di Sumatera Utara. Itulah sebabnya maka dapat dikatakan bahwa Willem Iskandar adalah pelopor pendidikan di Sumatera bagian utara. Ada diantara murid dari murid-murid Willem Iskandar yang menjadi guru sampai ke Aceh.
       Pada waktu berada di Negeri Belanda untuk kedua kalinya pada tanggal 27 Januari 1876, Willem Iskandar menikah dengan seorang gadis Belanda bernama Maria Jacoba Christina Winter. Tetapi baru beberapa bula mereka berumah tangga pada bulan Mei tahun 1876 Willem Iskandar meninggal dunia di Amsterdam dalam usia 36 tahun. Seandainya ia tidak meninggal dunia Willem Iskandar sudah direncanakan akan memimpin sekolah guru (kweekschool) yang dibangun oleh Belanda di Padang Sidempuan.
       Semasa hidupnya selain dikenal sebagai seorang pelopor pendidikan guru, Willem Iskandar populer pula sebagai penyair Mandailing terkemuka pada abad ke-18. ia menulis puisi-puisi yang sangat indah dan sangat penting isinya dalam bahasa Mandailing yang puitis dan juga menulis cerita pendek serta menerjemahkan beberapa buku berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing. Puisi-puisi dan cerita pendek seta drama pendek karya Willem Iskandar dikumpulkan dalam buku berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk yang diterbitkan oleh Batavia pertama kali pada tahun 1872. Buku tersebut pada masa dahulu sangat populer di kalangan masyarakat Mandailing dan Angkola dan dicetak ulang beberapa kali. Puisi-puisi Willem Iskandar yang berisi semnagat kebangsaan (nasionalisme) mengilhami para pemuda pergerakan di Mandailing pada tahun 1930-an. Dan mereka menggunakannya untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan semangat anti penjajahan di tengah masyarakat Mandailing. Oleh karena itu buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang oleh pemerintah Belanda sebagai bacaan.

  • PERLAWANAN TERHADAP BELANDA DAN AKHIR PENJAJAHANNYA DI MANDAILING
       Seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu meskipun orang Mandailing yang pernah bekerja sama dengan Belanda pada masa Perang Paderi, tetapi ada pula rakyat Mandailing yang bangkit melawan Belanda mendahului penduduk lain di Sumatera Utara. Yaitu dalam perang Mandailing yang dipimpin oleh Sutan Mangkutur dan rekan-rekannya pada tahun 1839.
Pada masa munculnya pergerakan nasional, para pemuda Mandailing tercatat pula sebagai pelopor di Sumatera Utara. Rasa kebangkitan orang Mandailing yang tidak menyukai penjajahan sejak abad ke-18 dapat ditemukan di dalam puisi-puisi Willem Iskandar. Meskipun ia mendapat pendidikan di Negeri Belanda tetapi ia mengutamakan rasa kebangsaaan dan cinta tanah air yang didukung dengan cita-cita kemajuan untuk bangsanya melalui pendidikan. Hal ini sangat nyata dia ekspresikan melalui isi puisi-puisinya. Dan ternyata puisi-puisinya itu memberi semangat dan ilham bagi para pemuda pergerakan di Mandailing untuk ikut bangkit melawan penjajahan Belanda pada tahun 1930-an. Mereka bangkit mendahului pemuda-pemuda pergerakan di berbagai daerah lain di Sumetera Utara. Akibatnya ada beberapa orang diantara pemuda Mandailing itu yang dibuang ke Digul karena ikut dalam pergerakan melawan Belanda.
       Perlawanan yang dilakukan oleh pemuda Mandailing di tahun 1930-an itu merupakan bagian dari perjuangan rakyat Mandailing untuk melepaskan negerinya dan tanah airnya dari penjajahan Belanda yang berakhir dengan datangnya masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Dengan demikian sejarah membuktikan bahwa Mandailing tidak termasuk di antara negeri-negeri di Nusantara yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Mandailing hanya dijajah oleh Belanda kurang lebih satu abad saja (1835-1942). Masa penjajahan Jepang meskipun hanya berlangsung kurang lebih 3 (tiga) tahun saja menimbulkan banyak pengalaman pahit bagi rakyat Mandailing.
         Selama masa perang kemerdekaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Mandailing tidak setapak pun pernah lagi diinjak oleh Belanda seperti daerah-daerah lain di Nusantara. Dan dalam perang kemerdekaan itu ada diantara putera Mandailing yang tampil sebagai tokoh sangat penting dalam memimpin perajurit-perajurit Indonesia berperang melawan Belanda. Sehingga akhirnya putera Mandailing tersebut tercatat sebagai salah satu dari 3 (tiga) Jenderal Besar yang dimiliki bangsa Indonesia.
Meskipun terpaksa dicatat sebagai pengalaman pahit, sebahagian rakyat Mandailing pernah pula terlibat dalam pemberontakan melawan perbuatan pemerintah pusat yang dirasakan tidak adil terhadap daerah. Hal ini kenyataan sejarah yang dapat diingkari dan tidak pula harus membuat rakyat Mandailing merasa malu 

                                                                            
PENUTUP

          Barangkali tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan dengan terbentuknya Kabupaten Mandailing Natal, Mandailing telah kembali ke tangan orang Mandailing. Dan hal ini harus kita sadari sebagai tantangan besar bagi rakyat Mandailing sendiri dalam perjalanan sejarah selanjutnya. Tantangan itu harus diatasi oleh rakyat Mandailing sendiri terutama dengan cara yang dilandaskan kesadaran kultural (budaya Mandailing) yang berpangkal pada ajaran nenek moyang orang Mandailing yang mengatakan:
 olong do mula ni adat dohot ugari, olong maroban domu, domu maroban parsaulian. Tampakna do rantosna rim ni tahi do na gogo. Marsitiop togu di adat dalian na tolu, marsitiap gogo di poda na lima.
Sai sayur matua bulung ma nian Kabupaten Mandailing Natal na togu jong-jong di tano rura Mandailing on, i ma tano sere tano omas si gumorsing na sun tarbonggal tu jae tu julu, tu desa na ualu .

NB: Dilarang mengutip dan memperbanyak isi makalah tanpa seijin dari penulis.
        Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang  .



  KESULTANAN CIREBON



Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat, pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan Jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut Sulendraningrat,  yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku Bangsa, Agama, Bahasa, Adat Istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.[1]
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran Agama Islam di Jawa Barat.
  • Perkembangan awal
  •   Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban. Selanjutnya bisa kita baca dalam buku-buku yang berkaitan dengan sejarah Cirebon.
2.      Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama, yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
  • Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
  • Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama Subang Larang (Puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk Agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran Agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (Agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.[2]
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai Raja Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan Agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2.      Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar Agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.[3]

Perlu ditegaskan bahwa penulis mengasumsikan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sama. Dengan kata lain, salah satu nama lain dari Syeikh Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Jati. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari kesamaran dalam tulisan ini, sekalipun hal ini mengabaikan polemik berkepanjangan tentang identitas siapa sebenarnya Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati.[4]
Adalah hal yang menarik melihat sosok Syarif Hidayatullah dari sudut pandang spiritualitas (sufisme) atau Kewalian, karena untuk melihat tokoh historis-legendaris ini tidaklah cukup hanya dari satu perspektif saja, terlebih karena ia berperan ganda, yakni sebagai seorang sultan (kepala pemerintahan) dan sebagai seorang Ulama-da’i. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, bahkan ia dikonversi sebagai salah seorang Wali Sanga, sejumlah Wali yang populer sebagai agen Islamisasi di Tanah Jawa.
Dalam dunia tasawuf, pembicaraan tentang Wali merupakan hal yang sudah umum. Rujukan paling banyak dikemukakan adalah kisah Musa dan Khidir. Khidir dianggap sebagai orang yang mempunyai pengetahuan rahasia, sedangkan Musa hanya mengetahui hal-hal yang bersifat lahir, sehingga di dalam perjalanan mereka berdua banyak berbeda pendapat (QS 18:60-82). Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menelisik ketokohan Syarif Hidayatullah dalam perspektif sufisme, terutama dalam sudut pandang kewalian.
Bagaimanakah identitas yang dinisbahkan kepada tokoh ini hingga ia digolongkan sebagai Wali songo. Inilah yang menjadi fokus tulisan ini. Hal ini karena kewalian merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran tasawuf yang barangkali sampai saat ini sering dilupakan atau masih jarang disentuh oleh para sejarawan dan khususnya pemerhati tasawuf.
  • Terima Kewalian
Al-hujwiri mendefinisikan Wali dengan cara merujuk al-Qur’an surat Yunus ayat 62, “Sesungguhnya, Wali-Wali Allah (auliya) tidak ada ketakutan bagi mereka dan mereka tidak akan bersedih hati.” Sedangkan menurut al-Tirmidzi (t.t.:491) dan al-Syanqiti (1961:12), Wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa.
 Apabila kedua pendapat ini digabungkan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa Wali adalah orang yang secara aktif dan tegar (tidak mempunyai rasa takut dan sedih) untuk mengungkapkan dan menyampaikan pesan-pesan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasulnya dengan dasar iman dan taqwa yang sebebar-benarnya.[5]
Kemudian apabila beberapa literatur tasawuf dirujuk dapat ditemukan bahwa kata Wali merupakan Isim sifat Musyabbahat bermakna fa’il (subjek; pelaku pekerjaan), dengan tekanan yang intensif, karena ia selalu menjaga diri untuk taat kepada Allah swt dan tetap disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menjauhi larangannya. Jadi, Wali dalam arti aktifnya ialah “orang yang menginginkan”. Untuk kategori Wali ini, proses mendapatkannya dilakukan melalui ibadah secara terus menerus (Mujâhadah).
 Oleh karena itu, berdasarkan kategori ini, menurut Tirmidzi (1961:494), Wali adalah orang yang disiplin melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya (sesuatu yang diharamkan secara syar’i) secara terus menerus (man tawâlat tha’âtuhu min ghairi an yattakhola laha isyânun).” Kata Wali  juga merupakan bentuk isim sifat musyabbahah  yang bermakna mafûl . Jadi Wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada “orang-orang yang diinginkan Allah” (Murad). Pengertian terakhir ini menurut al-Hujwiri merujuk kepada firman Allah, QS al-A’râf (7):96, “Dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang benar.”    
Oleh karena itu, Ali Harazim dalam Jawâhir al-Maânî  (1985:62) berpendapat bahwa Wali  adalah seseorang yang urusannya dikuasai Allah secara khusus serta Musyahadah  terhadap af’al Allah. Sebenarnya dua pemahamaman Wali tersebut apabila digabungkan mengarah pada satu pengertian bahwa Wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangannya (yang diharamkan) sampai pada Maqam (station) tertentu.
 Yang dimaksud Maqam  dalam tradisi sufisme merujuk pada suatu tingkatan ruhani (spiritual) yang didapat para sufi (Wali) melalui hasil usaha (ibadah). Apabila seorang Wali sudah sampai pada Maqam tertentu, sangat mungkin apabila Allah kemudian menariknya atau menginginkannya untuk mengetahui rahasia-rahasianya.
Dengan demikian, kewalian dibina melalui arah. Pertama, manusia itu sendiri secara aktif mempersiapkan diri melalui disiplin ibadah sampai pada Maqam tertentu. Inilah yang dimaksud dengan al-Muktasab, yakni usaha menempuhi jalan Allah, dan karena itulah Allah menariknya sampai pada tingkat Ma’rifah. Peristiwa terakhir ini dikategorikan sebagai ghair muktasab (anugerah; bukan merupakan usaha manusia). Dengan demikian, kewalian itu sendiri didapat melalui campur Allah, secara mutlak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewalian adalah wujud Rahman dan Rahim Allah swt.[6]
Perihal isyarat-isyarat mengenai makna hakikat kewalian telah banyak diungkap oleh para Sufi; misalnya (1) Abu Ali Jurjani; Nama aslinya adalah Hasan ibn Ali al-Jurjani, penulis kitab-kitab dalam bidang Ilm al-Auqât (ilmu tentang waktu) dan Suluk (jalan sufi). Menurut Ibrahim al-Sulama (1969:242), ia sejaman dengan Muhammad ibn Ali al-Tirmidzi (w. 247 H). (2) Abu Yazid Taifur ibn Isa ibn Sursan al-Bustami, yang lahir di Persia dan wafat pada tahun 261 H.
5.      Ciri-Ciri KeWalian Syarif Hidayatullah
Dalam literatur tasawuf ditemukan bahwa salah satu ciri kewalian seseorang adalah adanya keistimewaan-keistimewaan (karamah) yang muncul dari diri Wali. Menurut Jusuf al-Nabhani, Karamah adalah sesuatu yang melanggar adat (hukum adi) yang keluar dari tangan atau anggota hamba Allah yang benar-benar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Menurut hemat penulis, Karamah Wali erat kaitannya dengan Misi risalah al-Nubuwwah Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi akhir zaman yang syari’atnya berlaku hingga hari akhir. Melihat misi Nabi Muhammad SAW. Sebagai Khatam al-Anbiya, maka untuk mengaktualkan dakwahnya mesti ada kelompok tertentu yang secara khusus mengkonsentrasikan dirinya untuk memelihara misi tersebut.
 Dalam pandangan kaum sufi, orang-orang yang mengemban misi tersebut adalah mereka yang secara penuh mengabdi kepada urusan Allah dan tidak menuruti dorongan-dorongan hawa nafsu mereka dan orang-orang yang demikian adalah para Wali.[7]
Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa Karamah Wali pada dasarnya merupakan tanda kenabian (Burhan al-Nubuwwah) Nabi Muhammad yang tetap ada hingga sekarang. Para Wali-lah yang kemudian menjadi sarana manifestasi dari Burhan al-Nubuwwah, agar tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. Senantiasa dapat dilihat dengan jelas, dengan demikian, jika Nabi Muhammad SAW mengemukakan Mukjizat sebagai bukti kebenaran kenabiannya, Selanjutnya kebenaran pengakuannya dikuatkan oleh karamah Wali. Hal ini, karena syari’at Nabi Muhammad senantiasa berlaku sampai akhir zaman dan bukti keberannya (hujjah)-nya juga senantiasa berlaku dan Wali-Wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasulullah SAW.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Karamah yang ditampilkan Wali tidak mungkin dan tidak seharusya bertentangan dengan Mu’jizat  yang ditampilkan Nabi SAW. Sebab Karamah tidak terkukuhkan, kecuali orang yang menampilkannya bersaksi (Musyahadah) atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mu’jizat. Pada dasarnya, karamah dan kewalian merupakan anugerah Allah, bukan sesuatu yang diusahakan oleh manusia sehingga usaha manusia tidak dapat menjadi sebab bagi terwujudnya hal tersebut.
 Lebih jauh dikatakan oleh Ali Harazim(1985:107) bahwa kesucian pengetahuan tentang Tuhan (Ma’rifah), merupakan dasar dari semua Karamah  yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Karena sudah adanya cahaya Ma’rifah itulah, maka selanjutnya akan menyebabkan seseorang akan mempunyai keistimewaan (Karamah). Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW senantiasa dirujuk dalam literatur sufi untuk mendukung eksistensi karamah.
Artinya:  Hamba-hambaku tidak bertaqarrub kepadaku dengan sesuatu yang lebih Kusenangi dari ibadah yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hambaku selalu bertaqarrub kepadaku dengan amal ibadah sunnah sampai Aku cinta kepadanya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dia buat mendengar, Aku adalah penglihatannya yang dia buat untuk melihat, Aku adalah tangannya yang dia buat untuk memegang dengan keras, dan Aku adalah kakinya yang dia buat untuk berjalan. Apabila dia minta kepadaku, maka pastilah memberikannya dan apabila dia minta perlindungan kepadaku, pasti aku melindunginya (H.R. Bukhari).
Kemudian apabila dipandang dari dimensi perwujudannya, Karamah Wali  itu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Karamahhissiyyah yaitu Karamah yang berhubungan dengan indera, seperti berjalan di atas air dan mengobati orang sakit tanpa menggunakan diagnosis medis. Kedua, Karamah maknawi, yaitu Karamah  Wali yang terkait dengan bimbingan ruhani (spiritual) secara langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad SAW., yang dalam literatur tasawuf disebut dengan Talqin Barzakhi, dan atau petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang secara langsung disampaikan kepada Wali (Nur al-ladzi yaqdzifuhu Allah fî qalb al-‘abd bi ghair hassah wa la wasithah).
 Kedua jenis Karamah  tersebut, sebagaimana telah diinformasikan oleh beberapa penulis sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda dan tanah Jawa pada umumnya, dan juga sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah babad, melekat pada ketokohan Syarif Hidayatullah. Di dalam Babad Tanah Sunda, misalnya, banyak dilukiskan tentang peristiwa-peristiwa historis yang menunjukkan tentang adanya Karamah  dalam diri Syeikh Syarif Hidayatullah.
Salah satu peristiwa yang menunjukkan adanya Karamah Hissiyyah yang dinisbahkan kepada Syarif Hidayatullah adalah sebagaimana dilukiskan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon. Disebutkan bahwa suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Ia dibekali oleh ibunya (Larasantang atau Syarifah Mudaim) uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, ia dihadang sekelompok perampok.
Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut, para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa ia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikannya kepada mereka. Mereka terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon, “Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya terlihat seperti terbuat dari emas.
Para penyamun semakin penasaran dan mereka terus mengikuti Syarif Hidayatullah untuk meminta rahasia dari kelebihan Syarif Hidayatullah. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi ia justru berjalan di atas air laut.
Dalam Serat Walisana dengan langgam Durma diceritakan pula sebuah peristiwa yang dinisbahkan kepada Syeikh Syarif Hidayatullah dan masih menunjukkan Karamah kewaliannya. Peristiwa itu terjadi pada sebuah peperangan antara pasukan Wali sanga (Demak) dengan para tentara Majapahit. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa para Wali mengeluarkan Karamah masing-masing. Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya (tikus maketi-keti / andeleg marang  jroning pabarisan/ kumarep angerob) menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Masih banyak cerita lain berkenaan dengan Karamahhissiyyah yang dilekatkan pada tokoh satu ini. Mungkin saja, kalau dipahami dari sudut pandang logika rasional empiris, peristiwa-peristiwa tersebut tersebut dianggap sebagai sesuatu yang irrasional, mitos, atau legenda, atau paling tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang personal dan sulit dicari pembuktian empirisnya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif tasawuf, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hal yang mungkin dan masih dalam kerangka Sunnatullah.
Dalam hal ini, banyak berita gaib yang diinformasikan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. yang dapat dijadikan sandaran argumentasi atas terobosan cahaya Ilahi Wali Allah dan tidak berada dalam tataran Sunnatullah yang common sense. Misalnya, Karamah terjadi pada Maryam binti Imran yang mendapat hidangan dari surga.
Tatkala melahirkan Nabi Isa a.s., Maryam pun mendapatkan kurma yang didapatkannya dari pohon kurma yang telah mengering (Q.S. Maryam ayat 25 dst). Begitu pula peristiwa yang terjadi pada Asof bin Barkhoya, panglima tentara Nabi Sulaiman a.s. Yang mampu memindahkan istana Ratu Bilkis dari Saba (Yaman) ke negeri Syam (Syiria) dalam tempo sekejap mata (QS al-Naml ayat 38-40).
Adapun peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya Karamah Maknawi, pada diri Syeikh Syarif Hidayatullah adalah beberapa peristiwa yang menjelaskan pertemuannya dengan pada Nabi, di antaranya Nabi Ilyas a.s. dan terutama pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam perjumpaan (ruhani) tersebut, ia menyerap bimbingan dan mendapatkan pengukuhan tentang maqam yang diraihnya. Diceritakan dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengaku pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan sekaligus mendapat wejangan dari Nabi SAW.
berbunyi, “Jangan menghebat-hebatkan dan mengunggul-unggulkan sesuatu yang tiada amal kebajikan dan janganlah menduduki yang bukan maqamnya”. Diceritakan pula bahwa Nabi Muhammad SAW, pernah mengajarkan tentang Syahadat Lathifat al-sirr (atau dalam literatur sufi disebut Manhaj al-Dzikr) sekaligus mengukuhkan Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai insân al-Kâmil dan atau Wali quthb, yang secara lengkap berbunyi, “Aku memberi gelar insân al-kâmil, menjabat sebagai Wali quthb, sebagai wakil mutlak-ku”.
Terjadinya Karamah Maknawi sebagaimana dialami oleh Syeikh Syarif Hidayatullah, apabila merujuk literatur tasawuf yang membahas tentang kewalian, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang aneh melainkan sesuatu yang biasa (lazim). Bahkan banyak para sufi yang mengaku telah mengalami hal serupa, terutama bertemu dan mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad SAW.
 Di antara mereka adalah Syeikh Ibn al-‘Arabi, Syeikh Abu Madyan al-Maghribi, SyeikhAbd al-Rahman al-Qunawi, Syeikh Musa al-Zawawi, Syeikh Abu Hasan Syadzili, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi (686 H), Syeikh Abu Su’ud bin Abi al-‘Asya’ir, Syeikh Ibrahim al-Mabtuli (682 H), Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), Syeikh Ahmad Zawawi (812 H), Syeikh Sayyidina Ali al-Khawashi, Syeikh Sayyid Ahmad al-Rifa’I, Syeikh Sayyid Abu al-Abbas al-Thanji, Syeikh Abd al-Aziz al-Dhabagi, Syeikh Nur al-Din al-Suni, dan al-Thawwasi (1165 H).
Menurut K.H. Badri Masduki, seorang Muqaddam tarekat Tijaniyah Probolinggo, pertemuan para Wali dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan karunia Allah sebagai Tabsyir untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ia mengutip sebuah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 63, “Allah akan memberikan kegembiraan kepada mereka di dunia dan akhirat“.
 Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi memberikan penjelasan tentang ayat ini terutama kata Lahum al-busyra dengan Ru’ya al-shalihah. Selanjutnya dikatakan bahwa Allah memperlihatkan Ru’ya al-shalihah  tersebut dalam keadaan jaga. Di antara Ru’ya al-shalihah tersebut adalah pertemuan dengan Rasulullah SAW. K.H. Badri Masduki pun berpendapat bahwa pertemuan seorang Wali dengan Nabi Muhammad SAW. merupakan salah satu dari Karamah para Wali. Hal ini berarti bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan terjaga (Yaqzah) merupakan Karamah yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia pilihan yang telah mencapai maqam ma’rifah.
Untuk lebih jelas, di sini dikutipkan beberapa pengakuan beberapa Wali yang menyatakan bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Pertama, Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi, mengaku telah melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan jaga.
 Ia berkumpul dengan para Rasul lainnya lebih dari tujuh puluh kali. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pertemuan bersama Rasulullah berlangsung dalam keadaan jaga.
Kedua, Syeikh Abi Hasan al-Syadzali (w. 686 H), mengungkapkan pengalamannya, “Ma katabtu harf fi hidzb min ahzâb illa bi amr Rasulullah SAW(Aku tidaklah pernah menulis satu huruf pun dari hizb-hizbnya, kecuali atas perintah Rasulullah. Pengakuan ini menegaskan bahwa do’a-do’a hizb yang ditulisnya diakui bersumber langsung dari Rasulullah.
Ketiga, Syeikh Ibrahim al-Matbuli (w. 682 H) mengaku dan menyatakan,“Laisa lî syaikh illa Rasul Allah SAW.   (Aku tidak mempunyai guru kecuali Nabi Muhammad SAW.)”.
Keempat, Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (w 561 H) mengaku berdialog dengan Nabi Muhammad SAW, untuk meminta petunjuk dalam rangka menghadapi jamaah yang ingin mendapat bimbingannya.
Kelima, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi pernah berkata, “Kalau Nabi Muhammad SAW. hilang dari pandanganku selama sedetik, maka saya tidak merasa menjadi muslim”.
Keenam, Syeikh Ahmad al-Zawawi telah mengaku bercakap-cakap dan berkumpul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pengakuan pengalaman para Wali tersebut menunjukkan bahwa bimbingan Nabi Muhammad SAW. tidak pernah putus dengan wafatnya beliau. Dalam melihat pengalaman para Wali tersebut, pengarang al-Mizan menjelaskan bahwa dalam keadaan jaga ruh para Wali Allah dapat Ijtima (berkumpul) dengan ruh Rasulullah SAW. untuk mendapatkan bimbingan langsung dari beliau, dan hal itu mungkin terjadi dalam keadaan jaga.
Penjelasan ini menegaskan bahwa komunikasi spiritual antara Wali dengan Nabi Muhammad SAW tidaklah putus. Bahkan dalam Tanbih al-Muqatarin dikatakan bahwa apbila Wali mengalami kesulitan dalam melakukan Mujahadah, maka mereka menghadapkan ruhnya kepada nabi Muhammad SAW. Dan apabila telah hadir di hadapannya, mereka memohon bimbingan dan petunjuk dari Nabi mengenai Kaifiyat amalan yang dilakukannya.
Menurut keyakinan para Wali Allah, sebagaimana dikatakan Sayyid Ali al-Khawwas (w. 291), berkumpul dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan bukti kesempurnaan Ma’rifah seorang Wali atau dalam arti khusus Wali Allah. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa, la ya’lamu abd fî maqâm al-irfân hatta yashira yajtami’ bi Rasul Allah SAW. Yaqadhaz wa musyafahah” (Seorang hamba belum dapat dikatakan sempurna di dalam ma’rifah, sampai ia berkumpul dengan Rasulullah SAW, secara langsung dalam keadaan jaga)
 Pendapat ini menegaskan bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan salah satu kesempurnaan Ma’rifah. Ini berarti pengalaman tersebut hanya akan diperoleh seorang Wali yang telah melewati Maqamat secara bertahap melalui Tarbiyah spiritual  sampai Maqam Ma’rifah.
Dalam al-Jaisy al-Kafil dikatakan bahwa apabila seorang Wali telah bertemu dengan Nabi Muhammad asw. Secara Yaqzah, maka hatinya merasa tegar dalam arti sedikit sekali kemungkinan Maqam yang telahdilaluinya dicabut, lebih dari itu ia akan tambah yakin bahwa ada kemungkinan meraih maqam yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam keadaan jaga merupakan hal yang didambakan oleh para Wali. Mereka meyakini bahwa apabila hal tersebut belum dialami, maka hati mereka tidak akan tenang.
 Karena menurut keyakinan mereka, hal ini erat kaitannya dengan Maqam yang telah diraihnya, dalam arti apabila hal tersebut belum dialami oleh seorang Wali, maka Maqam Wali bersangkutan masih ada kemungkinan dicabut kembali oleh Allah atau maqam yang telah diraihnya tidak akan meningkat. Hal lain, menurut hemat saya, pertemuan Wali dengan Rasulullah SAW.
 Dalam keadaan jaga adalah dalam rangka meningkatkan ketegaran lahir batin bagi tugas-tugas yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepadanya, yaitu perintah untuk melaksanakan dakwah di jalan Allah. Sebagai komparasi, apabila Nabi diberi wahyu dan mu’jizat untuk ketegaran dakwahnya, maka Wali diberi bimbingan oleh Nabi SAW. melalui pertemuan barzakiyah secara yaqzah.
Jelaslah bahwa pengakuan Syeikh Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. dan mendapat bimbingan darinya menunjukkan dirinya telah mencapai kesempurnaan ma’rifah. Di antara ciri-ciri yang telah mencapai kesempurnaan Ma’rifah  adalah ia melakukan dakwah melalui pendekatan hikah (bijaksana), yakni mengajak umat manusia ke jalan Allah sesuai dengan kemampuan akalnya (‘an yukhatib al-nas ‘ala qadr uqulihim).
Di antara bukti pendekatan hikmah dalam dakwah Syeikh Syarif Hidayatullah tercermin Dalam kisah berikut yang dituturkan Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. Pada suatu hari para Wali songo mengadakan pertemuan setelah perang Demak melawan Brawijaya (raja Majapahit akhir). Pada waktu itu, Pangeran Kudus datang ke tempat pertemuan tersebut dengan membawa tawanan perang, di antaranya adalah Dipati Teterung.
 Pangeran Kudus berkata bahwa semoga para Wali menerima semua tawanan tersebut. Namun untuk kasus Dipati Teterung, Pangeran Kudus memohon agar Dipati tersebut dihukum pancung, karena telah membunuh Sunan Ngudung. Namun Syeikh Syarif Hidayatullah berpendapat lain, dengan bijak ia menyarankan agar Dipati tersebut diampuni dan dianjurkan untuk memeluk Agama Islam. Menyoal gugurnya Sunan Ngudung, Syeikh Syarif Hidayatullah menyebutnya sebagai sebuah upaya penyempurnaan derajat kewaliannya sebagai syuhada fi sabilillallah.
Terdapat bukti lain yang menunjukkan tentang kebijaksanaan yang ditempuh oleh Syarif Hidayatullah dalam melakasanakan dakwahnya. Di antaranya, disebutkan oleh Wiji Saksono bahwa, Syeikh Syarif Hidayatullah telah memperbaiki doa mantra (pengobatan batin) firasat, dan jampi-jampi (pengobatan lahir) dan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan ataupun dalam pembukaan dan pembangunan wilayah baru. Dengan cara ini, menurut Sulendraningrat, banyak orang Cirebon dan sekitarnya memeluk Islam.
Diceritakan oleh Sulendraningrat bahwa suatu ketika, Syeikh Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara meng Islamkan raja-raja Pasundan. Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala. Setelah dilakukan uji coba, maka tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syeikh Syarif Hidayatullah membacakan do’a tolak bala.
 Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. Syeikh Syarif Hidayatullah berkata, “Dipati Awangga, telah aku bacakan do’a tolak bala, karena itu bala tentara ciptaan itu hilang. Bala tentara ciptaan itu sungguh tidak ada gunanya bagi tentara Auliya.
Apabila dilihat dari segi ciri-ciri kewalian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka jelas bahwa Syarif Hidayatullah merupakan salah seorang Wali yang telah mencapai maqam ma’rifah. Karenanya sangat tepat bila para Wali lainnya di tanah Jawa menganggapnya sebagai Wali quthb. Demikianlah, ciri-ciri kewalian yang ditampilkan Syarif Hdiayatullah, yang kesempurnaan ma’rifahnya diupayakan untuk meraih posisi Waratsat al-Anbiyâ (pewaris Nabi). Untuk itu ia memandang penting arti penting tampilnya sorang Wali di tengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.
  • Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan.Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
  • Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
  •  Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
  • Terpecahnya Kesultanan
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung Jawab pihak Banten.Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

  • Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana Kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
 Karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat dan keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi Sultan melainkan hanya Panembahan. Dia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabonan (Paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang Sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
  • Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun Kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya Besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon KaCirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar Sultan, cukup dengan gelar Pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
3.      Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa tahun 1942. Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu Walikota dan Bupati.[8]
  • Perkembangan Terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan Agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (fkn).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

  • Kesimpulan
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan antara tahun 1706-1723. 
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata Cirebon adalah Sarumban, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi Caruban. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi Carbon, berubah menjadi kata Cerbon, dan akhirnya menjadi kata Cirebon.
Menurut sumber ini, para Wali menyebut Carbon sebagai Pusat Jagat Negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya Negeri Gede. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi Garage dan berproses lagi menjadi Grage.

  • Saran
Dan selanjutnya bisa dilihat di dalam buku-buku Sejarah Kesultanan Cirebon, baik yang digunakan sebagai referensi atau referensi kompoten yang lain. Karena apa yang tertulis dalam Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. wallahu A’lam Bissawab.


[1] .Wildan, H.Dadan, , Cirebon, Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat. Edisi Selasa. 8 Juni 2004.

[2].  Permana  Aan Merdeka, Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon, Pikiran Rakyat. Edisi Kamis 17 Juni 2004.
[3] . Nina H. Lubis . Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Fikiran Rakyat Edisi. 2000.
[4] . Harazim, Ali. Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Ma’ani. Mesir: Maktabah Abd al-Ghani. 1985.

[5] . Sulama  Ibrahim, Tabaqât al-Shuffiyyah. Kairo: Maktabah al-Khanzi. 1969.

[6] . Musthafa al-Bab al-Halabyi, . Al-Jaisy al-Kafil. Fikiran Rakyat: 1961.
[7] . Yuyus Suherman. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.  Pustaka. Bandung. 1995.

[8] . Wildan, H.Dadan,  Cirebon Masa Lalu dan Kini, Pikiran Rakyat, Edisi Selasa, 9 Juni 2


 SEJARAH  DAULAH  UMAYYAH  DI  SYRIA
  • Asal usul Nama Daulah Umaiyah.
Nama “Daulah Umaiyah” itu berasal dari nama ”Umaiyah ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman jahiliyah. Umaiyah ini senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim Ibnu Abdi Manaf, untuk merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah kala itu.
Sesudah datangnya Agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umaiyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, disebabkan oleh persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umaiyah dengan tegas menentang Rasulullah dan usaha-usaha beliau untuk mengembangkan Agama Islam. Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah, baik mereka yang sudah masuk Islam ataupun yang belum.
Dan dalam peperangan badar, kekuatan Quraisy hampir semuanya berpusat pada Bani Abdi Syams, Abu Sufyanlah pemilik iring-iringan unta yang membawa barang-barang dagangan dari Negeri Syam ke Makkah.
Setelah ia mengetahui bahwa kaum muslimin di Madinah akan  mencegat iringan untanya dalam perjalanan ke Makkah, maka ia meminta orang-orang Quraisy untuk beramai-ramai menolongnya, sehingga bergeraklah penduduk kota Makkah dibawah pimpinan Abu Jahal dan ‘Utbah ibnu Rabi’ah ibnu ‘Abdi Syams, yaitu nenek Mu’awiyah dari fihak ibunya. Dengan demikian kafilah yang datang dari Negeri Syam itu, maupun pasukan penolong yang datang dari Makkah, semuanya berada di bawah pimpinan Bani Abdi Syams.
 Sehingga tampak jelas kekuasaan dan keangkuhan berada dalam tangan rombongan ini, yaitu Bani Abdi Syams yang sebagai suatu cabang dari cabang-cabang suku Quraisy itu. Inilah sebabnya maka kemudian timbul suatu peribahasa yang diucapkan terhadap orang yang tiada memegang peranan dalam suatu peristiwa, yang kira-kira artinya: “Engkau tak ikut[1]

Bani Umaiyah barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk kekota Makkah.

  •  Pembentukan Pemerintahan.
Setelah Khalifah Ali meninggal dunia bulan Ramadhan 40 H, penduduk Kufah mengangkat putranya, Hasan menjadi Khalifah mereka walaupun sebenarnya dia tidak berbakat menjadi khalifah. Pernah juga dia menantang Muawiyah dengan mengirim 12.000 orang pasukan untuk menyerang Muawiyah. Akan tetapi dia kalah dan kemudian dia mengajak Muawiyah berdamai.  Sementara itu, penduduk Syam pun telah mengangkat Muawiyah menjadi khalifah mereka semenjak peristiwa tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia didukung oleh tentara-tentara militan yang keperluan finansialnya ditanggung Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung Muawiyah untuk hal itu.
Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abd al-Syams bin Abd Manaf bin Qushai. Ibunya Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abd al-Syams. Muawiyah dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad Saw, dan masuk Islam bersama ayahnya (Abu Sofyan) saudaranya (Yazid) dan ibunya (Hindun) pada waktu penaklukan kota Makkah.
Sementara Hasan, nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muthalib. Dia dilahirkan di Madinah tahun ketiga hijriah, yaitu cucu Nabi dari putrinya Fatimah, namanya diberikan langsung oleh kakeknya Rasulullah dan Nabi sangat mencintai cucunya itu.
Hasan ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Afrika Utara dan Tabaristan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Ikut melindungi khalifah dari serangan pemberontak dan ikut dalam perang Jamal dan Shiffin bersama ayahnya.
            Hasan meninggal dunia di Madinah pada tahun 49 H. Karena diracun oleh salah seorang istirinya. Menurut orang Syi’ah, sudah berulang kali suruhan Muawiyah hendak meracun Hasan agar Muawiyah terbebas dari membayar kompensasi yang di pikulnya terus menerus setiap tahun.[2]  Dengan demikian, dunia Islam sepeninggal khalifah Ali terdapat dua khalifah, yaitu di Kufah dan Syam, suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila dikaitkan dengan perlunya menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Maka tawaran Hasan untuk berdamai merupakan suatu hal yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Itulah sebabnya waktu Hasan mengajak Muawiyah berdamai langsung diterima Muawiyah karena dia sangat berambisi menjadi khalifah.
            Walaupun Hasan mengajukan beberapa syarat, bagi Muawiyah hal itu tidak ada persoalan, asalkan jabatan khalifah diserahkan Hasan bin Ali kepadanya.  Adapun syarat-syaratnya Yaitu:

1.  Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan syarat, Muawiyah berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta sirah (prilaku) khalifah-khalifah yang saleh.
2.      Agar Muawiyah tidak meangangkat seseorang menjadi putra mahkota sepeningalnya dan urusan kekhalifahan  diserahkan kepada orang yang banyak untuk memilihnya.
3.      Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak, menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
4.      Agar pajak tanah negeri  Ahwaz di Persia diperuntukkan kepada Hasan dan dibrikan setiap tahun.
5.      Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 5 juta dirham dari Baitul Mal.
6.       Agar Muawiyah datang secara langsung ke Kufah untuk menerima penyerahan jabatan khalifah dari Hasan dan mendapat baiat dari penduduk Kufah. [3]
Pada waktu pendukung Hasan mengencam penyerahan kekuasaan kepada Muawiyah, hal itu dijawab Hasan bahwa ia tidak rela menyaksikan umat islam saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan dan dia berkata: “inti kekuasaan bangsa Arab saat ini ada di tanganku, jika aku ingin perang mereka siap berperang”.
Selain itu, Hasan sadar bahwa ayahnya Ali dahulu pun mengalami kesulitan menghadapi Muawiyah dan tidak dapat di atasi ayahnya, apalagi dia.  Oleh sebab itu dia
ingin mencari jalan selamat bagi dirinya dan keluarganya karena kekuatan yang dimilikinya tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan Muawiyah. Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang diajukan Hasan. Lalu ia datang ke kufah menerima bai’at jabatan khalifah dari Hasan dan penduduk Kufah. Tahun itu disebut “tahun persatuan”, karena ummat Islam telah bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.
            Lima belas tahun setelah penyerahan jabatan kekhalifahan itu. Untuk mempertahankan jabatan khalifah tetap di tangan Bani Umayyah, Muawiyah menciptakan sistim monarchi dalam pemerintahannya. Walaupun untuk itu dia telah melannggar janjinya dengan Hasan bin Ali. Daulah yang di buat Muawiyah ini disebut Daulah Umayyah, diambil dari nama Umayyah bin Abd Syams yaitu Datuknya Muawiyah.  Daulah ini berkuasa selama kuramg lebih sembilan puluh tahun (40-132 H/661-750 M) diperintahkan oleh 14 orang khalifah.
 
  • Pertumbuhan Pemerintahan (661-680 M).
Muawiyah adalah sebagai khalifah pertama yang melakukan pemindahan ibu kota Negara dari Kufah ke Damaskus karena dia telah 22 tahun menjadi gubernur di daerah ini. Dan ia juga orang pertama dalam pemerintahan Islam yang menggunakan Body-Guard untuk alasan keamanan, dan juga membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid yang disebut dengan maqsurah. Muawiyah memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan armada angkatan laut sehingga ketika itu dia telah memiliki 1.700 kapal.
Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid sebagai penggantinya jadi khalifah, tetapi dia mendapat tantangan dari para tokoh sahabat di Madinah yakni keturunan Bani Hasyim. Antara lain Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena hal itu bertentangan dengan janjinya kepada khalifah Hasan dulu.[4]
Yazid bin Muawiyah hanya memerintah selama tiga tahun (61-63 H), karena mendapat perlawanan dari penduduk Kufah, Bashrah, serta sahabat-sahabat di Madinah, terutama Abdullah bin Zubeir mereka memberontak, maka pemerintahannya dihadapkan kepada kerusuhan-kerusuhan.[5]

Tahun pertama, dia membunuh Husein bin Ali di Karbela. Saat itu penduduk Kufah mengundang Husein bin Ali untuk datang ke Kufah dan di janjikan akan mereka angkat menjadi khalifah. Husein memenuhi undangan itu walaupun kepergiannya dicegah beberapa sahabat, tetapi Husein tetap berangkat dengan dikawal sekitar 200 orang, termasuk keluarganya.
Mendengar kedatangan Husein maka Yazid memerintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk mencegah Husein. Ubaidillah bersama 4000 tentaranya mencegat Husein di Karbela (25 mil Barat Laut Kufah), dan mereka membunuh Husein dan rombongannya. Kepala Husein mereka penggal dan dikirim kepada khalifah Yazid di Syam, sementara badannya mereka kubur di Karbela.
Peristiwa ini terjadi 10 Oktober 680 atau 10 Muharram 61 H. Sampai kini hari pembunuhan itu diperingati kaum Syi’ah sebagai hari “Tragedi Karbela”. Padahal ayahnya Muawiyah telah membunuh Hasan sebelumnya dengan menyuruh salah satu isteri Hasan untuk meracunnya.
Tahun kedua, dia menjarah Madinah. Karena penduduk Madinah tidak mengakui kekhalifahan Yazid, bahkan mereka memecat Gubernur yang di angkat Yazid serta mengusir gubernur tersebut bersama dengan seluruh keturunan bani Umayyah dari Madinah. Bahkan menurut Ahmad Syalabi, mereka memenjarakan semua orang-orang bani Umayyah yang ada di Madinah.
Oleh sebab itu, khalifah Yazid mengirim utusan ke Madinah dan meminta agar mereka taat kepadanya tanpa peperangan, akan tetapi mereka menolak permintaan itu. Maka Yazid mengirim pasukan ke Madinah yang di pimpin oleh Muslim bin Uqbah al-Murri, orang yang dikenal diktator dan kejam. Yazid berpesan kepadanya: “Ajaklah mereka agar membai’atku dalam batas waktu tiga hari tanpa melakukan peperagan, dan jangan menyerang mereka, kecuali habis batas waktu tiga hari. Tetapi penduduk Madinah tetap tidak mau membai’at Yazid, maka Muslim pun menyerang mereka. Sayangnya selama tiga hari, muslim membolehkan tentaranya melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap penduduk Madinah, sebagai kota Rasulullah, suatu hal yang tidak sepatutnya terjadi.

Tahun ketiga, dia menggempur Ka’bah, Yazid menyuruh panglimanya itu (Muslim bin Uqbah) agar melanjutkan penyerangannya ke Makkah untuk menaklukkan kota suci itu sepeti yang dia lakukan dikota Madinah. Namun ditengah jalan dia meninggal dan digantikan oleh Husein bin Namir, mereka mengepung Makkah, menembaki Masjidil Haram, merusak Ka’bah dan memecahkan Hajrul Aswad, setelah kejadian itu Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui penyebabnya dan dia digantikan oleh anaknya Muawiyah II bin Yazid, tapi itu hanya berlangsung selama tiga bulan dan saki-sakitan, karena tidak mampu mengendalikan pemerintahan lalu dia mengundurkan diri. Tidak ada lagi pengganti dari keturunan mereka, dengan demikian bekhirlah masa pemerintahan Bani mayyah. Dari Abu Sofyan dan beralih ke keturunan al-Hamka Abu Ash’bin Umayyah yaitu Marwan bin Hakam.[6]

  • Puncak Pemerintahan (685-715)
Masa puncak pemerintahan Daulah Umayyah berlangsung selama 30 tahun (687-715 M), yaitu Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dan puteranya Wahid bin Abd Malik (705-715 M).
Abdul malik lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada pemerintahan Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai orang yang hafal al-Qur’an, dia juga adalah seorang ilmuan ahli fiqih, tafsir dan Hadis di Madinah, yang berguru kepada ulama-ulama Hijaz di Madinah.
Diantara peristiwa penting yang pernah dihadapi Abdul Malik adalah pemberontakan  “Amru bin Sa’id yang ingin menjadi khalifah sesudah khalifah marwan karena dia sudah sibuk berjuang untuk memperkokoh kekuasaan Marwan, sebab dijanjikan Marwan untuk di angkat menjadi khalifah sesudahnya, tetapi Marwan menipunya dia mengangkat anaknya Abdul Malik sebagai penggantinya.
Pada suatu malam Abdul Malik mengundang Amru agar berkunjung kerumahnya, Amru datang dengan beberapa pengawal, tetapi pengawal itu ditahan seorang demi seorang di belakang pintu sampai akhirnya Amru tiba di ruangan Abdul Malik hanya seorang diri saja dan tidak ada lagi pengawal di belakangnya, waktu itulah Abdul Malik membunuhnya dengan memenggal kepalanya. 
Adapun karakter Abdul Malik antara lain ialah: Kepercayaannya terhadap dirinya sendiri, dan keyakinannya bahwa diantara orang-orang yang semasa dengan dia tidak ada yang dapat menandinginya.[7]

Diantara hasil karya Abdul Malik yang patut dipuji adalah antara lain:
1.     Mengarahkan kantor-kantor pemerintahan, dulunya pemerintahan yang berada di Syam memakai bahasa Yunani sebagai bahasa resmi, Persia memakai bahasa Persia, Mesir memakai bahasa Qbthi. Maka Abdullah bin Malik menetapkan untuk memindahkan semuanya dan menjadikannya jadi satu bahasa yaitu bahasa Arab.
2.     Membuat mata uang dengan cara yang teratur dari dinar dan dirham menjadi riyal, sampai saat sekarang ini.
3.     Pelayanan pos yang lebih sempurna dari yang sebelumnya, gunanya untuk menghubungkan satu ibu kota dengan ibu kota lainnya diseluruh provinsi, dan antara perovinsi dengan Negara.
  •   Kesimpulan
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bani Hasyim dengan Bani Abdi Syams itu silsilah keturunannya masih ketemu pada nenek yang paling atas bagi dinasti-dinasti Islam yang memegang pemerintahan pada abad permulaan yaitu Abdul Manaf. Dengan demikian jelaslah bahwa Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk Islam, dan merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya.
Sebaliknya Bani Hasyim adalah merupakan orang yang pertama masuk Islam bahkan, menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah disaat menyerukan Agama Islam, baik mereka yang telah masuk Islam atau pun yang belum.
Dan selanjutnya bisa dilihat di dalam buku-buku Sejarah Peradaban Islam lainnya, baik yang digunakan sebagai referensi atau yang tidak digunakan. Karena apa yang tertulis dalam Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.


[1].prof. Dr. A. Syalabi. Sejarah dan kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982, Hal. 24.
[2] Dr. H. Syamruddin Nasution, M.A. Sejarah Peradaban Islam. Yayasan Pustaka Riau. 2010. Hal. 103.
[3] Ibid. Hal. 103-104.
[4] Ibid. Hal. 106-107.
[5] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta. Pustaka Al Husna: 1995. Hal. 57.
[6] Ibid. Hal. 113-114.
[7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1995. Hal.73.