Rabu, 25 Desember 2013

MAZHAB SAHABAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ushul fiqih menurut istilah syara’ adalah: pengetahuan tentang pengetahuan hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Berdasarkan penelitian yang diperoleh dikalangan ulama’, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hokum syar’iyyah mengenai perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunah, ijma’, dan Qiyas.
Oleh sebab inilah, maka para ulama’ telah membahas terhadap masing-masing dari dalil ini dan terhadap argument yang dianggap sebagai hujjah terhadap manusia dan sumber syari’at yang harus diikuti segala ketetapannya, terhadap syarat-syarat beristidlal (menggunakan dalil), macam-macamnya yang bersifat umum.
Jadi definisi ushul fiqih menurut istilah syara’ adalah: pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.

B. Tujuan
Adapun objek pembahasan ilmu ushul fiqih adalah: dalil syar’i yang bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Untuk menjelaskan terhadap hal ini akan di contohkan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah: dalil syar’I yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nashnya yang ditasyri’iyah tidaklah dating dalam satu bentuk saja, akan tetapi diantaranya ada yang datang dalam bentu amar (perintah)ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan) dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak.
Bentuk perintah, larangan, bentuk umum dan bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat mum dari aneka macam dalil syar’I yang umum pula yaitu: Al-Qur’an. Kemudian apabila melalui pembahasan itu, sampai kepada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian pewajiban, sighat larangan menunjukkan pengertian pengharaman, sighat umum menunjukan pengertian tercakupnya semua satuan-satuanpada dalil umum sacara pasti dan bentuk mutlak menunjukan terhadap tetapnya hukum secara mutlak.
Maka ada beberapa kaidah sebagaim berikut: Perintah adalah untuk kewajiban, larangan adalah untuk pengharaman. Sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti. Sesuatu yang mutlak menunjukan terhadap satuan secara merata tanpa batas. Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul fiqih melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh ahli fiqih sebagai kaidah yang diterimanya dan ia diterapkan terhadap bagian-bagian dalil umum, supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara rinci. Jadi ushul fiqih menerapkan kaidah: “perintah menunjukkan pengertian pemwajiban” terhadap firman Allah SWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
Ini menunjukan bahwa penghuni akad adalah wajib hukumnya.
Fiqih menetapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman”
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain”
(al-hujrat).
Kemudian fiqih memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap kaum lainnya adalh haram hukumnya.

B.     Tujuan Ilmu Ushul Fiqih
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjuki dalil.










BAB II
PEMBAHASAN

MAZHAB SAHABAT
A.    Pengertian Mazhab Sahabat
Secara etimologi Mazhab kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian, Mazhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. [1]
Misalnya kata ‘Aisyah : “Didalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi 2 tahun, berdasarkan ukuran yang bisa mengubah bayangan alat tenun”.[2] Ungkapan tersebut tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bias dijadikan hujjah oleh umat islam.[3] 
BPerbedaan Mazhab Sahabat, Qaul Sahabat, Fatwa Sahabat, dan Ijma Sahabat serta Contohnya
Madzhab adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menempuh atau menetapkan hukum islam, yaitu berdasarkan qur’an sunnah dan ijtihad.jadi madzhab shahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan hukum islam berdasarkan Al-Qur’an sunnah dan Hadist.  Contoh:
Sedangkan qoul shahabat ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun sunnah, contohnya: Sementara fatwa secara syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran Sunnah Nabawiyyah dan ijtihad
C.   Pengertian Sahabat Rasulullah SAW
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.[4] Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama ushul fiqh adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat.”
Ada pula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.[5]
D.   Pendapat Ulama berkenaan dengan Kehujahan Mazhab Sahabat
Setelah Rasululah SAW wafat, maka tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah 
Para Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan bahwa pendapat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analog) maka pendapat sahabat didahulukan.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah saw itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-lal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang diharapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu akan lebih boleh lagi, karena Rosulullah saw, mengatakan bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain.

E.  Pendapat Imam Syafi’I dalam Kitab ar-Risalah
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika Kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya : “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab :”Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’, bahwa Imam Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata : “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz 7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Qur’an dan Sunah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Qur’an dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa’ra-Rasyidun, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.[6]
G.  Pendapat Mazhab yang Empat dalam Menggunakan Mazhab Sahabat
Secara keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti fatwa-fatwa sahabat, dan tidak menghindarinya. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm ( kitab yang baru ) berkata:” jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam Al-qur’an dan As-Sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali ( mengiuti ) pendapat Abu Bakar, Umar, atau Islam. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”. ( Al-Umm Juz 7 hal. 247 ). 
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat. Imam Ahmad dan Ibn Hanbal juga demikian.
Meskipun di atas telah dijelaskan, bahwa para imam keempat madzhab mengikuti pendapat/fatwa para sahabat, akan tetapi dalam sebagian kitab ushul fiqh disebutkan, bahwa ada ulama yang beranggapan bahwa Imam Syafi’I dalam qaul jaded (pendapat yang baru) tidak mau mengambil pendapat sahabat.
Demikian juga sebagian ulama madzha Hanafi beranggapan bahwa Imam Hanafi tidak mau mempergunakan pendapat para sahabat, kecuali terhadap hukum yang tidak dapt diketahui kecuali dengan dalil naqli. Dengan demikian, pendapat sahabat yang diambil adalah yang berasal dari sunnah, bukan dari hasil ijtihad. Kalau pendapat sahabat tersebut berasal dari hasil ijtihad, maka dia tidak mau mengambilnya.[7]
H.  Komentar Imam asy-Syaukani berkenaan Mazhab Sahabat
Berkata Imam asy-Syaukani : “Sebenarnya, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena Allah SWT. Hanya mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu Nabi Muhammad SAW. Rasul kita hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua umat Nabi Muhammad, baik dari generasi sahabat maupun generasi sesudahnya, semua diperintahkan untuk mengikuti kitab suci al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu, barang siapa berpendapat, bahwa didalam Agama Allah terdapat hujjah selain al-Qur’an, Sunah, dan sesuatu yang dikembalikan (diQiyaskan) kepada kedua hal tersebut, berarti ia mengada-adakan sesuatu dalam agama allah yang tidak ditetapkan oleh syariat’. Dan menetapkan sesuatu dalam syariat Islam yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”
Imam asy-Syaukani menguraikan pengertian ungkapan diatas dan mengulang-ulangnya, serta mengakhiri perkataannya dengan ungkapan sebagai berikut :”Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT. Tidak mengutus seorang utusan kepada mu dan kepada seluruh umat Nabi Muhammad, kecuali hanya Nabi Muhammad SAW. Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengikuti seseorang selain Nabi Muhammad SAW. Dan tidak mensyariat’kan sesuatu melalui lisan umatnya, meskipun hanya satu huruf, serta tidak menjadikan Hujjah terhadap pendapat seseorang, selain pendapat Rasulullah SAW”.[8]
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat asy-Syaukani diatas adalah dalam rangka menolak pendapat para sahabat. Sesuatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam mazhab mengikuti pendapat para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada selain al-Qur’an dan Sunah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para sahabat, mereka tetap berpegangan teguh pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
2.      Sesuatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para Imam mazhab mengikuti pendapat para sahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap Hujjah pada selain al-Qur’an dan Sunah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para sahabat, mereka tetap berpegangan teguh pada satu Nabi/sunah dan al-Qur’an.

















DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Moh., Ushul Fiqih,Jakarta:Pustaka Firdaus,2008,cet.12
Al-Syaukani,Muhammad ibn Ali ibn Muhammad,Irsyad al-fuhul,Bairut:Dar al-Fikr,t,t,
Haroen, Nasrun,Ushul Fiqh 1,Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001,cet.3
Wahab Khalaf Abdul,Ilmu Ushulul Fiqh,Bandung:Gema Risalah Press,1997,cet.2
Syafe’I, Rachmat Ilmu Ushul fiqih untuk uin,stain,ptais, Bandung:CV.Pustaka Setia,2007,cet.3





[1]. Nasrun Haroen,USHUL FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.155.
[2].  Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushulul Fiqh,(Bandung:Gema Risalah Press,1997),cet.2,hal.157.
[3]. Rachmat Syafe’I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2007),cet.3,hal.141.
[4]. Moh. Abu Zahrah, USHUL FIQIH,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.328.
[5].  Nasrun Haroen,Ushul Fiqh 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.155-156.
[6]. Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.332-333.
[7].  Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.332-334.
[8].  Al-Syaukani,Muhammad ibn Ali ibn Muhammad,Irsyad al-fuhul,(Bairut:Dar al-Fikr,t,t,),hal.214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar