Belakangan ini, Agama adalah sebuah
nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan
para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun
terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama Agama.
Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat
berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan
berbagai macam konflik.
Fenomena yang juga terjadi saat ini
adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama Agama
(mengatasnamakan Agama) sehingga realitas kehidupan berAgama yang muncul adalah
saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak
harmonisan. Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam
dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara
mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu
keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi
terciptanya kerukunan antar umat beragama.
B.
Tujuan
Sebagai bahan untuk memenuhi tugas semester yang telah
ditetapkan oleh dosen pembimbing materi Ulumul Qur'an. Dan mudah-mudahan
dapat menambah wawasan tentang materi Ulumul Qur'an khususnya kajian
tentang bagaimana pentingnya pembahasan tentang Toleransi dan yang berkaitan
dengannya menurut konsep al-Qur'an.
TOLERANSI
MENURUT AL-QUR'AN
A. Pengertian
Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”
(Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi,
toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan ) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan
pendiriannya.[2]
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan Agama atau system keyakinan dan ibadah penganut
Agama-Agama lain.
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara
tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di
dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan
segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat
yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam
implementasi toleransi dalam kehidupan.
B. Konsep
Toleransi Dalam Islam
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau
mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa,
warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta Agama. Ini semua
merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan
dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:. Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Seluruh manusia tidak akan bisa
menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk
mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi
antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting
yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita
akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi Agama, suku, warna kulit,
adapt-istiadat, dsb.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut Agama
tertentu dan esok hari kita menganut Agama yang lain atau dengan bebasnya
mengikuti ibadah dan ritualitas semua Agama tanpa adanya peraturan yang
mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk
pengakuan kita akan adanya Agama-Agama lain selain Agama kita dengan segala
bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan keyakinan Agama masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta
tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan
ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat
Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut Agama lain terhadap
tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
Bahkan Islam melarang penganutnya mencela
tuhan-tuhan dalam Agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam
Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak Agama
Islam itu lahir. Karena itu, Agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang Agama yang paling dicintai oleh
Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (Agama yang lurus
yang penuh toleransi), itulah Agama Islam.[3]
C. Hubungan
Toleransi dengan Ukhuwah Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ)
tbqãZÏB÷sßJø9$#
×ouq÷zÎ)
(#qßsÎ=ô¹r'sù
tû÷üt/
ö/ä3÷uqyzr&
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
÷/ä3ª=yès9
tbqçHxqöè?
ÇÊÉÈ
Artinya: Orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya
terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an
memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim
melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahka orang
mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang
lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging
saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujuraat:12)
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qç7Ï^tGô_$#
#ZÏWx.
z`ÏiB
Çd`©à9$#
cÎ)
uÙ÷èt/
Çd`©à9$#
ÒOøOÎ)
(
wur
(#qÝ¡¡¡pgrB
wur
=tGøót
Nä3àÒ÷è/
$³Ò÷èt/
4
=Ïtär&
óOà2ßtnr&
br&
@à2ù't
zNóss9
ÏmÅzr&
$\GøtB
çnqßJçF÷dÌs3sù
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
4
¨bÎ)
©!$#
Ò>#§qs?
×LìÏm§
ÇÊËÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
Untuk mengembangkan sikap toleransi
secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita
mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada
keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi
dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari
adanya perbedaan.
Dan menyadari pula bahwa kita semua
adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan
pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan
pengamalan Agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk
kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan (Sunnah).
D. Hubungan
Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama
Dalam
kaitannya dengan toleransi antar umat berAgama, toleransi hendaknya dapat
dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut Agama
lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan
(ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah
maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain.
Hal
demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap
bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan
antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan
bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik
dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu
direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling
tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ketika suatu
saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi
yang mengantar jenazah. Nabi SAW. Langsung berdiri memberikan penghormatan.
Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai Rasul?” Nabi SAW.
menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah
atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi
kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan Agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan
pada ayat terakhir surat al-kafirun.
ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
Artinya: Untukmu Agamamu, dan untukkulah, Agamaku."
Bahwa perinsip menganut Agama
tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa Agama
dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai Agama secara simultan.
Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh
pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran
ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan
tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama mempunyai system dan ajaran
masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujaraat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung Agama
kita dan Agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan
untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan
dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan
hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah
memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut Agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar
pemeluk Agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak
dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan
tidak perlu saling menyalahkan.
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada
Nabi Muhammad SAW. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut Agama lain
setelah kalimat SAWa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba: 24-26).
*
ö@è%
`tB
Nä3è%ãöt
ÆÏiB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÄßöF{$#ur
(
È@è%
ª!$#
(
!$¯RÎ)ur
÷rr&
öNà2$Î)
4n?yès9
´èd
÷rr&
Îû
9@»n=|Ê
&úüÎ7B
ÇËÍÈ @è%
w
cqè=t«ó¡è?
!$£Jtã
$oYøBtô_r&
wur
ã@t«ó¡çR
$£Jtã
tbqè=yJ÷ès?
ÇËÎÈ ö@è%
ßìyJøgs
$uZoY÷t/
$oY/u
¢OèO
ßxtGøÿt
$uZoY÷t/
Èd,ysø9$$Î/
uqèdur
ßy$Fxÿø9$#
ÞOÎ=yèø9$#
ÇËÏÈ
Artinya: Katakanlah: "Siapakan
yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah:
"Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti
berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu
tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami
tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan
kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita
dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui".
Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak
dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah
pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
w
â/ä38yg÷Yt
ª!$#
Ç`tã
tûïÏ%©!$#
öNs9
öNä.qè=ÏG»s)ã
Îû
ÈûïÏd9$#
óOs9ur
/ä.qã_Ìøä
`ÏiB
öNä.Ì»tÏ
br&
óOèdry9s?
(#þqäÜÅ¡ø)è?ur
öNÍkös9Î)
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
ÇÑÈ
Artinya: Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena Agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing Agama mendakwahkan Agamanya
dengan cara-cara yang bijak.
E.
Konsep Etika Beragama Yang Diajarkan
al-Qur’an
Tak ada
paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk
menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan
pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama
Islam.
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 :
Iw
on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
(
s%
tû¨üt6¨?
ßô©9$#
z`ÏB
ÄcÓxöø9$#
4
`yJsù
öàÿõ3t
ÏNqäó»©Ü9$$Î/
-ÆÏB÷sãur
«!$$Î/
Ïs)sù
y7|¡ôJtGó$#
Íouróãèø9$$Î/
4s+øOâqø9$#
w
tP$|ÁÏÿR$#
$olm;
3
ª!$#ur
ììÏÿx
îLìÎ=tæ
ÇËÎÏÈ
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) Agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Asbabun Nuzul tentang sebab turunnya
ayat ini, diriwayatkan seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani
Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk Agama Nasrani
sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu
datang ke Madinah (setelah datangnya Agama Islam), maka Ayah mereka selalu
meminta agar mereka masuk Agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak
akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.”
Mereka lalu mengadukan perkaranya
itu kepada Rasulullah SAW. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari
tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan
mereka itu tetap dalam Agama semula. Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan.
Kewajiban kita hanyalah menyampaikan Agama Allah kepada manusia dengan cara
yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar
sehingga mereka masuk Agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri.
Kata din pada umumnya diartikan Agama.
Padahal, kata tersebut tidak hanya bermakna “Agama”, melainkan juga “balasan”,
sebagaimana terlihat pada surat al-Fatihah ayat ketiga, Mâliki yaum ad-dîn
(yang memiliki hari pembalasan). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam
ayat keenam surat al-Kâfirûn adalah “kamu mendapat pembalasan buat kamu dan
saya juga mendapat balasan buat saya”.
Orang-orang yang menolak menyebut
kepercayaan kaum musyrik sebagai Agama, tidak menerjemahkan ayat ini dengan “Bagimu
Agamamu dan bagiku Agamaku”. Akan tetapi, menjadi “bagimu balasan ganjaran
bagimu dan bagiku balasan ganjaran bagiku”. Tegasnya, ayat tersebut tidak
berbicara tentang Agama, menurut mereka.
Kata di atas bisa dibaca secara
berbeda. Ia bisa dibaca dain yang berarti “hutang” dan bisa juga dibaca din
yang berarti “pembalasan” atau “Agama”. Semua kata yang terdiri dari huruf dal,
ya, dan nun menggambarkan hubungan dua pihak, di mana yang satu
posisinya lebih tinggi daripada yang lainnya dan pasti berhubungan. Dalam arti
hutang, ketiga huruf tersebut menggambarkan terjadinya hubungan antara yang
memberi hutang (posisinya lebih tinggi) dengan yang diberi hutang (posisinya
lebih rendah).
Kemudian, dalam arti pembalasan, itu
juga terdapat hubungan antara yang membalas dengan yang memberi balasan.
Sedangkan dalam arti Agama, menggambarkan adanya hubungan antara Tuhan yang
dipercayai dengan manusia yang mempercayai. Jadi, syarat mutlak sesuatu yang
dinamakan Agama mesti terdapat hubungan antara Sang Khalik dan makhluk. Oleh
karena itu, bila seseorang tidak melakukan hubungan dengan Tuhan berarti dia
tidak beragama.
Walaupun kita menafsirkan ayat ini
dalam arti “pembalasan”, tetapi bukan berarti al-Quran tidak mengajak untuk
menjalin hubungan baik dengan siapapun, karena ada ayat-ayat lain yang
memerintahkan hal tersebut. Atau dengan kata lain, Islam menganjurkan adanya
jalinan hubungan dan pengakuan akan eksistensi Agama-Agama.
Sebenarnya kata ad-din pada ayat
tadi bukan dalam pengertian Agama, melainkan berarti “pembalasan”. Kalaupun
diartikan Agama, tetapi tidak dalam pengertian “Agama Islam”, karena Allah
tidak memerintahkan Nabi untuk memaksa orang agar masuk Islam. Tidak ada
paksaan dalam Agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk
menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan
pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk Agama
Islam. Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW.
mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama
kalian benar dan Agama saya benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda.
Ini menunjukkan bahwa kita tidak
perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau
Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri. Nabi SAW.
Bersabda, “Dosa yang paling besar dari seorang manusia adalah memaki ayahnya”.
Sahabat Nabi bertanya, bagaimana ada orang yang memaki
ayahnya sendiri? Nabi SAW menjawab, “Karena orang tersebut memaki ayah orang
lain, maka orang lain tersebut akan memaki Ayahnya ”.
A. Kesimpulan
Bahwa
perinsip menganut Agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin
manusia menganut beberapa Agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran
dari berbagai Agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa
umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak;
sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam
ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk Agama
mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat
menghujat.
Al-Qur’an
juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk Agama.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan
persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak
perlu saling menyalahkan.
Dengan
bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi SAW. mengatakan, kalian (kaum
musyrik Quraisy) tidak usah mengatakan bahwa Agama kalian benar dan Agama saya
benar, karena secara prinsip memang sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa kita
tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen,
atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayainya sendiri.